Pengacara di Pinggiran Revolusi, di Pusaran Reformasi
All the Presidents’ Lawyers

Pengacara di Pinggiran Revolusi, di Pusaran Reformasi

Sebelum jadi Presiden, Soekarno sudah pernah berhadapan dengan peradilan. Saat menjadi Presiden, ia sering menyebut orang hukum susah diajak melakukan revolusi.

Oleh:
M. Yasin
Bacaan 2 Menit

Ketika menjadi Presiden, Bung Karno juga dihadapkan pada persoalan serupa. Bahkan lebih berat, ada warga yang dituduh berkomplot melakukan upaya pembunuhan terhadap Bung Karno. Itu terjadi pada peristiwa Cikini, 30 November 1957. Sejumlah orang ditangkap, dibawa ke pengadilan tentara, dengan tuduhan makar kepada Presiden Soekarno. Warga sipil bernama Yusuf Ismail, Sa’adon bin Mohammad, Tasrif, dan Mohamad Tasim duduk di kursi terdakwa gara-gara kasus pelemparan granat ke arah Presiden Soekarno.

Pengacara yang membela para terdakwa kasus ini adalah Mr. Harjono Tjitrosoebeno. Dalam pledoi Harjono meminta hakim memilah kapasitas Soekarno datang ke Cikini sebagai presiden atau sebagai pribadi, orang tua murid. “Bahwa Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno pada tanggal 30 November 1957 sore telah mengunjungi dan ada hadir pada perayaan (bazaar) Sekolah Rakyat Cikini di Jalan Cikini Raya No. 76 di Jakarta, tidak dalam kualiteit beliau sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia, akan tetapi sebagai perseorangan (in persoon) dalam prive sebagai orangtua, ialah sebagai bapak dari murid”.

Berhubung dengan itu, maka elemen Presiden dalam perbuatan yang dituduhkan kepada para terdakwa seperti yang disebut dalam Pasal 104 KUHP terbukti tidak ada, atau setidak-tidaknya elemen presiden tidak terbukti”. Di pengadilan tinggi tentara, para terdakwa dinyatakan terbukti berkomplot hendak membunuh Bung Karno. Majelis yang memutus perkara itu di tingkat banding adalah R. Tjitrosudibio, AJ Mokoginta, dan Roekminta.

Bung Karno pernah diangkat MPRS menjadi Presiden seumur hidup. Namun peristiwa G.30.S membuat kursi kepresidenan yang diduduki Bung Karno goyah. Lewat Surat Perintah 11 Maret, kendali Bung Karno atas keamanan beralih ke tangan Soeharto. Bung Karno akhirnya dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso. Salah satu yang menimbulkan ketidakpastian hukum adalah status Bung Karno dalam peristiwa G.30.S. Hingga presiden pertama itu wafat tak pernah ada proses pengadilan yang menyatakan ia terlibat atau tidak dalam peristiwa itu.

Terhadap hal ini, advokat S. Tasrif menulis di Indonesia Raya edisi 17 Juli 1970. “Tidak ada orang yang lebih berkepentingan mendudukkan peranan BK (Bung Karno) pada proporsi yang sebenarnya dalam peristiwa G.30.S daripada keluarganya sendiri. Maka oleh karena itu, sekiranya keluarga BK menghendaki adanya suatu uitspraak (penetapan, pernyataan--red) dari pengadilan mengenai terlibat tidaknya BK dalam peristiwa G.30.S, menurut hemat saya, salah seorang dari anggota keluarga ini dapat mengajukan pengaduan terhadap salah seorang yang sesudah BK meninggal menuduh BK berkhianat”. Pandangan S. Tasrif itu juga dimuat dalam bukunya Menegakkan Rule of Law di Bawah Orde Baru (Peradin, 1971).

Puluhan tahun kemudian, sebuah yayasan bernama Yayasan Mahakarya Pati mempersoalkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, ke Mahkamah Konstitusi. Ketika tulisan ini dibuat, permohonan judicial review itu masih berlangsung, meskipun hakim sudah mengingatkan Mahkamah Konstitusi tak berwenang menguji TAP MPR.

Anak sulung Soekarno, Megawati Soekarnoputri kemudian tampil sebagai presiden, menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelum menjadi Presiden, Megawati juga menghadapi problem hukum berkaitan dengan kasus 27 Juli 1996 dan perpecahan di tubuh PDI Perjuangan. Sebagai Ketua Umum partai, Megawati tercatat pernah digugat ke pengadilan. Berkaitan dengan kasus-kasus hukum, terutama setelah kasus 27 Juli, sejumlah pengacara membentuk Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang kini dipimpin pengacara Petrus Selestinus.

Tags:

Berita Terkait