Pengacara di Pinggiran Revolusi, di Pusaran Reformasi
All the Presidents’ Lawyers

Pengacara di Pinggiran Revolusi, di Pusaran Reformasi

Sebelum jadi Presiden, Soekarno sudah pernah berhadapan dengan peradilan. Saat menjadi Presiden, ia sering menyebut orang hukum susah diajak melakukan revolusi.

Oleh:
M. Yasin
Bacaan 2 Menit

Hubungan Megawati dengan pengacara bisa dirujuk pada payung hukum advokat. Pada masa Presiden Megawati-lah Undang-Undang Advokat lahir. Namun sebagai Presiden, Megawati tak bersedia menandatangani UU No. 18 Tahun 2003 tersebut. Kuat dugaan penolakan ini berkaitan dengan kebolehan lulusan sarjana syariah menjadi advokat. Pemerintah akhirnya setuju lebih karena pertimbangan politik agar mendapat dukungan dari partai-partai berbasis Islam di parlemen. Dugaan ini antara lain disampaikan Fajar Laksono dan Subardjo dalam buku mereka ‘Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden (UII Press, 2006).

Seperti presiden lainnya, kepemimpinan Megawati juga tak luput dari kritik pedas, bahkan terkesan vulgar. Salah satu kasus yang tercatat berujung ke pengadilan adalah tulisan-tulisan harian Rakyat Merdeka. Beberapa judul tulisan pada edisi Januari dan Februari 2003 harian itu dianggap menghina Presiden Megawati. Misalnya, judul ‘Mulut Mega Bau Solar’, ‘Mega Lebih Ganas dari Sumanto’. Dalam kasus ini pelapornya bukan Presiden Megawati, melainkan seorang anggota kepolisian. Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka, Supratman, dihadapkan ke meja hijau. Di pengadilan, Supratman dibela Adnan Buyung Nasution dkk. PN Jakarta Selatan menghukum Supratman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan. Ia dinyatakan terbukti melanggar Pasal 137 KUHP.

Dalam jabatannya sebagai ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati menunjuk pengacara profesional untuk menghadapi gugatan. Sirra Prayuna, misalnya, mengaku beberapa kali menjadi kuasa hukum Megawati, termasuk berkaitan dengan partai. “Kalau ada gugatan terhadap Ibu Megawati, saya salah satu kuasa hukum beliau,” kata Sirra kepada hukumonline.

Lawyer yang dekat dengan Megawati baik sebelum maupun setelah jadi Presiden, Dwi Ria Latifa, menceritakan testimoni kepengacaraannya dalam buku Megawati Anak Putra Sang Fajar (2012). “Awalnya, saya hanya pengacara PDI Pro-Mega, pengacara PDI Perjuangan, dan selanjutnya pengacara Ibu Mega untuk kasus-kasus era reformasi. Ketika saya kenal beliau pada 1996, saya sudah menjadi pengacara profesional yang punya kantor sendiri, karyawan yang cukup lumayan, dan klien-klien yang cukup besar”. Pergaulan dengan Megawati itu akhirnya mendorong Dwi Ria Latifa ikut berpolitik, dan melenggang ke Senayan sebagai anggota Dewan.

Dwi Ria Latifa menilai Megawati sebagai pemimpin yang berkarakter. Ia tidak dendam kepada mantan Presiden Soeharto yang saat itu hendak diadili. Kepada Dwi Ria Latifa, Megawati mengatakan: “Tidak berarti saya harus dendam dengan memperlakukan Pak Harto sama seperti bapak saya diperlakukan oleh beliau”.

Penelusuran lain mengenai perkara hukum Megawati berkaitan dengan pemilu. Ketika kalah dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2009, pasangan Megawati-Prabowo juga menggunakan jasa pengacara untuk melakukan upaya hukum. Dan ketua tim hukum pasangan ini saat itu adalah Gayus T Lumbuun. Kini, Gayus tercatat sebagai salah seorang hakim agung.

Uniknya, sebuah catatan bertarikh 16 November 2001 mengungkapkan Gayus pernah menjadi kuasa hukum Lembaga Studi Advokasi Independensi Peradilan Indonesia (Ls-ADIPI) untuk dan atas nama kelompok masyarakat Timor-Timur Pro Integrasi. Kelompok ini menggugat pemerintah Indonesia c/q Presiden Megawati Soekarnoputri dan tergugat II mantan Presiden BJ Habibie. Gugatan itu diajukan secara class action di PN Jakarta Pusat.

Tags:

Berita Terkait