Pengaturan Ranah Privat dalam RKUHP Dinilai Sesat Pikir
Terbaru

Pengaturan Ranah Privat dalam RKUHP Dinilai Sesat Pikir

Ada 6 akibat jika pengaturan ranah privat dalam RKUHP disahkan: berpotensi salah sasaran pemidanaan korban kekerasan seksual; peningkatan perkawinan paksa dan perkawinan anak; peningkatan prevalansi penularan HIV/AIDS; peningkatan persekusi dan diskriminasi; disharmonisasi hubungan kerluarga; dan tidak tercapainya cita-cita SDGs.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Penolakan publik terhadap RKUHP, lalu pada tahun 2019 lalu gagal disahkan DPR, antara lain karena ada sejumlah pasal yang dinilai kontroversi dan menuai polemik, salah satunya pemidanaan terhadap hak yang masuk wilayah privat (privasi). Aktivis Lintas Feminis Jakarta yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHP, Naila Rizqi Zakiah, mencatat RKUHP mengatur ruang privat warga negara seperti yang tercantum dalam Pasal 417 RKUHP yang memuat tentang zina; Pasal 418 RKUHP mengenai larangan tinggal bersama sebagai suami isteri di luar perkawinan (kumpul kebo); serta Pasal 414-416 RKUHP yang intinya mengatur ancaman pidana terhadap hak atas kesehatan seksual dan reproduksi.

Naila menilai secara umum ranah privat yang diatur dalam RKUHP itu sesat pikir karena tidak membedakan tegas mana ruang privat dan publik. Padahal, Pasal 28 UUD RI 1945 menjamin perlindungan terhadap hak pribadi warga negara. Karena itu, pemerintah penting melindungi hak privasi, seperti identitas, integritas, intimasi, otonomi, dan seksualitas. “Apa saja (hak privat, red) yang dilindungi? Antara lain identitas seperti nama, orientasi seksual,” kata Naila  dalam webinar bertema “RKUHP dan Kriminalisasi Ruang Privasi Warga Negara”, Senin (31/5/2021). 

Menurut Naila, aktivitas seksual termasuk ranah privat yang harus dilindungi selama kegiatan itu dilakukan secara konsensual, tidak ada kekerasan. Mengakses kesehatan seksual dan reproduksi juga layak dilindungi, tapi dalam RKUHP aksesnya ditutup karena dianggap melanggar moralitas. (Baca Juga: Begini Pandangan Praktisi Pengadilan Soal Hukum Adat dalam RKUHP)

Naila menegaskan yang perlu diatur pemerintah itu terkait moral publik, bukan kehidupan pribadi warganya. Misalnya perkosaan, itu masuk ranah publik, sehingga negara harus memberi keadilan dengan menangkap pelakunya. Tapi yang terjadi di Indonesia justru keliru dimana urusan kekerasan seksual, seperti perkosaan malah diselesaikan di ruang privat dengan cara pelaku mengawinkan korban. “Ini logika terbalik, sesat pikir,” tegasnya.

“Intervensi negara baru bisa masuk ke ranah privat, misalnya ketika terjadi kekerasan dalam hubungan seksual, melibatkan anak, dan melibatkan orang yang belum mampu melindungi diri. Tujuan intervensi ini untuk melindungi hak atas privasi, bukan merusak.”

Dia berpendapat masuknya pengaturan ranah privat dalam RKUHP berbasis moralitas. Padahal fakta yang dihadapi tidak sederhana, misalnya tentang zina, tuduhan itu kerap ditujukan kepada korban pemerkosaan dan kekerasan seksual. Akibatnya korban sulit untuk mendapat keadilan karena banyak kasus yang ujungnya pelaku menawarkan kepada korban untuk dinikahkan. Sayangnya persoalan ini tidak diatur lengkap dalam RKUHP.

Begitu juga dengan larangan untuk tinggal bersama, Naila mencatat tidak sedikit penganut aliran penghayat kepercayaan, masyarakat hukum adat, dan kelompok miskin tidak bisa mendaftarkan perkawinannya karena persoalan kependudukan. “Pemerintah mengklaim masyarakat hukum adat tidak akan terkena pelarangan ini, tapi kenyataannya nanti aparat akan kesulitan membedakan orang yang tinggal bersama di luar perkawinan apakah dilakukan sah secara adat atau tidak.”

Menurutnya, ada 6 akibat jika pengaturan ranah privat dalam RKUHP ini disahkan. Pertama, berpotensi salah sasaran pemidanaan korban kekerasan seksual. Kedua, peningkatan perkawinan paksa dan perkawinan anak. Ketiga, peningkatan prevalansi penularan HIV/AIDS. Keempat, peningkatan persekusi dan diskriminasi. Kelima, disharmonisasi hubungan keluarga. Keenam, tidak tercapainya cita-cita SDGs.

Legal Advisor The Asia Foundation (TAF), Leopold Sudaryono, mencatat ada 4 teori pemisahan tentang batasan hukum pidana dalam mengatur perilaku masyarakat. Pertama, de minimis principle atau tidak ada alternatif selain pemberian sanksi pidana. “Misalnya minum-minuman keras di depan umum, apakah ada sanksi administratif atau denda, jika ada lebih baik gunakan sanksi alternatif itu. Sanksi pidana diterapkan sebagai upaya terakhir, ultimum remidium,” kata dia.

Kedua, perbuatan menimbulkan kerugian atau membahayakan pihak lainnya. Ketiga, menjadikan tindakan yang tidak dapat diterima oleh satu kelompok sebagai kejahatan berpotensi mendiskriminasikan kelompok lain. Keempat, perbuatan yang legal dilakukan di ranah privat menjadi ilegal jika dilakukan di publik. 

Tags:

Berita Terkait