Pengawasan Terhadap Penyidikan Sangat Penting untuk Mewujudkan Jaminan Fair Trial
Terbaru

Pengawasan Terhadap Penyidikan Sangat Penting untuk Mewujudkan Jaminan Fair Trial

Akuntabilitas aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana masih lemah. Tak sanksi atas pelanggaran prosedur.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi prinsip-prinsip fair keadilan. Sumber: fairtraial.org.
Ilustrasi prinsip-prinsip fair keadilan. Sumber: fairtraial.org.

UUD 1945 telah memberikan jaminan yang kuat terhadap hak-hak warga negara atas pelaksanaan fair trial. Jaminan itu seharusnya diimplementasikan melalui instrumen hukum agar upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terukur dengan baik. Sayangnya, konstitusi tidak menegaskan bagaimana hak-hak itu dijalankan dan dipertahankan. KUHAP, yang lahir sebelum amandemen UUD 1945, pun hanya memuat sebagian dari jaminan fair trial itu tanpa menegaskan sanksi bagi aparat yang melakukan pelanggaran prosedural.

Berbicara dalam penataran pidana secara daring, Rabu (25/5), dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Anugerah Rizky Akbari, mengatakan masih ada sejumlah persoalan dalam penerapan jaminan fair trial di Indonesia. Konstitusi, KUHAP, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) telah memberikan landasan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk akses terhadap proses hukum yang adil. Persoalannya, tidak ada ketentuan bagaimana mengakses hak-hak tersebut agar dipenuhi, dan tidak ada konsekuensi hukum bagi aktor-aktor sistem peradilan pidana yang melanggar hak-hak seorang tersangka, misalnya.

Ketika seorang dinyatakan tersangka, dan ditahan, pengujian alasan substansial penahanan itu kurang kuat. KUHAP membenarkan alasan-alasan subjektif penyidik untuk menahan seseorang, tanpa menguji lebih lanjut apakah alasan subjektif itu berdasar atau tidak. Memang, ada praperadilan yang dapat diajukan, tetapi upaya ini sangat formalistik. Pengadilan tidak cukup berani untuk menguji pelanggaran yang dilakukan terhadap prosedur pemeriksaan seseorang. Sayangnya, kondisi tersebut justru kurang mendapat koreksi dari kalangan advokat, yang seharusnya memperjuangkan hak-hak pencari keadilan. Advokat tersandera oleh masalah organisasi dan profesionalisme. “Walaupun tidak berkaitan langsung, peran advokat sangat penting dalam sistem peradilan pidana,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (Persada) Universitas Brawijaya bekerjasama dengan sejumlah lembaga tersebut.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Melda Istiqomah, menunjuk pasal 51-68 KUHAP yang telah memuat sejumlah jaminan hak-hak tersangka/terdakwa. Pasal 51 misalnya, memberikan hak kepada tersangka untuk mendapatkan informasi yang jelas dan dalam bahasa yang dapat dimengerti tentang apa yang disangkakan kepadanya. Informasi itu disampaikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik dimulai. Demikian pula ketika sudah memasuki persidangan, terdakwa berhak mendapatkan informasi senada secara jelas dan bahasa yang ia mengerti. Tersangka atau terdakwa penyandang disabilitas juga berhak mendapatkan bantuan sesuai kebutuhan khususnya. Dalam konteks ini, aktor sistem peradilan pidana wajib memperhatikan perkembangan hak-hak penyandang disabilitas dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Persoalannya, kata Melda, akuntabilitas aktor-aktor sistem peradilan pidana masih lemah. Kewenangan polisi sangat besar untuk melaksanakan upaya-upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan tidak disertai dengan akuntabilitas. Pembatasan hak mendapatkan bantuan hukum, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dalam proses pemeriksaan merupakan contoh nyata pelanggaran terhadap hak-hak fair trial seseorang yang ditetapkan menjadi tersangka/terdakwa. Minimnya akuntabilitas juga dapat dilihat pada kasus-kasus extra judicial killing dalam dugaan tindak pidana terorisme. Tidak hanya masalah tindakan kekerasan yang merendahkan kemanusiaan, penanganan orang-orang yang disangka melakukan tindak pidana terorisme menggunakan kekuasaan yang sangat besar. Melda mencatat 120 orang tersangka kasus terorisme meninggal dalam serangan, tanpa dipertanggungjawabkan tuduhannya melalui pengadilan.

Temuan-temuan tentang pelanggaran terhadap prosedur dan jaminan fair trial itu mendorong sejumlah pihak, termasuk Melda, menaruh harap pada perubahan KUHAP. Selain berharap pembahasan revisinya disegerakan, Direktur Penelitian Persada UB itu meminta agar revisi konsisten dengan standar-standar internasional yang telah diadopsi, misalnya UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.

Belanda dapat dijadikan contoh bagaimana standar internasional diadopsi untuk memperkuat pengawasan oleh pengadilan terhadap proses penyidikan tindak pidana. Pinar Olcer, akademisi dari Instituut voor Strafrecht & Criminologie Universiteit Leiden, menjelaskan bahwa hukum acara pidana di Belanda juga terus mengalami perubahan, termasuk karena pengaruh Pengadilan Eropa. Pasal 6 European Convention on Human Rights (ECHR) mengatur secara khusus tentang fair trial. Penggalan ayat (1) pasal ini menyebutkan: “In the determination of his civil rights and obligations or of any criminal charge against him, everyone is entitled to a fair and public hearing with a reasonable time by an independent and impartial tribunal established by law”.

Hukum acara pidana Belanda telah mengadopsi ketentuan tentang pre-trial illegality, keabsahan upaya-upaya paksa yang dilakukan yang duji melalui kontrol pengadilan. Pinar Olcer merujuk pada Pasal 359a Wetboek van Strafvordering, yang mengandung kontrol pengadilan dan konsekuensi yang timbul akibat pelanggaran prosedur. Pasal ini (dalam bahasa Inggris) menyebutkan: “The District Court may, if it appears that procedural requirements were not complied with during the preliminary investigation which can no longer be remedied and the law does not provide for the legal consequences thereof, determine that: (a) the length of the sentence shall be reduced in proportion to the gravity of the non-compliance with procedural requirements, if the harm or prejudice caused can be compensated in this manner; (b) the result obtained from the investigation, in which there was a failure to comply with procedural requirements, may not be used as evidence of the offence as charged in the indictment; (c) there is a bar to the prosecution, if as a result of the procedural error or omission there cannot be said to be a fair trial of the case which meets the principles of due process”.

Selanjutnya ayat (2) menyebutkan “In the application of subsection (1), the District Court shall take into account the interest served by the violated rule, the gravity of the procedural error or omission and the harm of prejudice caused as a result of said error or omission. Ayat (3) menegaskan putusan hakim merujuk pada ayat (1) dan putusan tersebut harus memuat alasan-alasan yang masuk akal.

Tags:

Berita Terkait