Beberapa hari belakangan ini isu rencana pemindahan ibu kota menjadi trending topic di berbagai media, termasuk khususnya media sosial. Situasi ini terjadi setelah disetujuinya UU Ibu Kota Baru saat ini terkait rencana pemindahan ibu kota tersebut, masyarakat terbelah dalam pro dan kontra terkait perlunya pemindahan ibu kota tersebut.
Dalam hal ini nampaknya berbagai hasil kajian, mulai dari kajian ekonomi hingga lingkungan maupun aspek lainnya belum tersosialisasikan dengan baik pada masyarakat. Nampaknya di tataran grass root masyarakat belum paham betul urgensi pemindahan ibu kota.
Faktor seperti pemerataan ekonomi, mengurai kemacetan atau mengurangi beban ekologis kota Jakarta dipandang dapat dilakukan tanpa harus memindahkan ibu kota. Dalam benak masyarakat, pemindahan ibu kota tentu akan memakan biaya yang sangat besar yang harus ditanggung oleh negara. Kondisi ini tentu akan membebani keuangan negara, bahkan kemungkinan bisa menambah hutang negara.
Memang dalam hal ini belum ada kepastian dan jaminan bahwa negara yang memindahkan ibu kota akan memetik manfaat positif. Jeff Croos (2000), menguraikan bahwa beberapa negara yang memindahkan ibu kotanya tidak mengalami perkembangan positif dalam pembangunannya, namun beberapa negara lainnya mendapatkan perkembangan positif tersebut. Jika Indonesia mengacu pada Malaysia dan Brazil dalam hal pemindahan ibu kota, maka hal tersebut tidak sepenuhnya tepat.
Fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan pembangunan yang belum merata, adalah fakta yang membedakan Indonesia dengan Malaysia maupun Brazil. Jika Malaysia memindahkan ibu kota dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya, sesungguhnya dapat dikatakan ini bukan contoh yang tepat karena jarak dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya hanya kurang dari 1 jam perjalanan mobil dan kala itu sarana dan prasarana Putra Jaya telah siap.
Berbeda halnya dengan kala Brasil memindahkan ibu kotanya tahun 1956 – 1961, wilayah ibu kota baru nyaris tak berpenghuni, meskipun jarak ibu kota baru dan lama adalah 1200 kilometer. Hal ini berbeda dengan profil Jakarta dan Kalimantan Timur saat ini, pemerintah perlu memastikan bahwa pemindahan ibu kota merupakan langkah yang tepat untuk mengatasi berbagai macam masalah sebagaimana diuraikan dalam kajian Bappenas.
Aspek Administratif
Saat ini yang harus dilakukan oleh pemerintah selain menjelaskan pada masyarakat mengenai urgensi pemindahan ibu kota maka tahap berikutnya adalah menyelesaikan prosedur hukum sesuai perundang-undangan yang sudah disepakati dan melalui proses politik terkait rencana pemindahan ibu kota. Pembangunan fisik pada daerah calon ibu kota harus dibarengi dengan adanya ketetapan hukum terkait rencana pemindahan ibu kota tersebut. Dalam hal ini ketetapan hukum terkait penetapan lokasi ibu kota yang baru, sekaligus menentukan status administratif kota Jakarta ke depannya.
Saat ini dengan status ibu kota maka posisi Jakarta adalah kota yang setingkat dengan propinsi karena status daerah khusus ibu kota (DKI), artinya jika sudah ada ketetapan yang menyatakan bahwa Jakarta bukan ibu kota lagi maka tentu harus dibarengi dengan dengan penyesuaian administratif kota Jakarta (apakah tetap menjadi provinsi atau kembali menjadi kota mengingat jika nantinya bukan DKI lagi).
Penentuan pengelolaan ibu kota baru yang dituangkan dalam ketetapan hukum yang baru disahkan dalam hal ini bukan hanya menjadi wewenang eksekutif, yakni Presiden bersama jajarannya tetapi juga perlu melibatkan fungsi legislatif, mengingat masalah penetapan ibu kota perlu ditetapkan melalui Undang-Undang (UU). Dalam hal ini tidak dapat dihindari bahwa proses hukum penetapan daerah ibu kota baru nantinya akan melalui proses politis pada pembahasan ketetapan tersebut.
Dalam hal ini yang penting untuk diperhatikan oleh pemerintah adalah jika nantinya diputuskan ibu kota akan pindah maka perlu dilakukan dengan tahapan yang layak secara hukum (yang tentu saja tidak terlepas dari proses politik). Selain harus melalui prosedur formal, dalam hal ini penting bagi pemerintah untuk wajib menjelaskan dan melakukan sosialisasi pada masyarakat terkait urgensi pemindahan ibu kota, mengingat pemindahan ibu kota akan memakan banyak biaya yang ditanggung oleh APBN sehingga pemerintah dalam hal ini wajib menjelaskan pada masyarakat terkait rencana pemindahan ibu kota tersebut.
Persoalan Pembiayaan
Pangaribuan (1997), menguraikan bahwa dalam melakukan pembangunan proyek milik negara maka negara harus berhitung kemampuan badan usaha milik negara (BUMN), karena dalam hal ini BUMN memiliki fungsi sebagai pilar pembangunan negara. Tentu dalam hal ini perlu dipastikan bahwa studi kelayakan (feasibility study) terkait pemindahan ibu kota akurat adanya, mengingat perlu dihindari beban biaya keuangan akibat pemindahan ibu kota, namun tidak sebanding dengan manfaat yang akan diterima oleh masyarakat. Dengan kondisi pemindahan ibu kota dari Jakarta ke daerah di Kalimantan Timur maka dalam hal ini hampir dapat dipastikan bahwa pemerintah tidak dapat hanya bergantung pada BUMN saja.
Jika pada akhirnya rencana pemindahan ibu kota direalisasikan maka pemerintah memerlukan alternatif pembiayaan dan menambah hutang guna keperluan pemindahan ibu kota adalah tentu bukan solusi. Alternatif pembiayaan yang dapat diupayakan oleh pemerintah adalah memberi ruang pada investor. Namun dalam hal ini meskipun pembiayaan negara terbatas, dalam mewujudkan tujuannya pemerintah tetap harus berpedoman pada Pasal 33 UUD 1945, sehingga model investasi yang dapat ditawarkan pada investor yang nantinya akan berpartisipasi membangun daerah ibu kota yang baru harus sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Jika mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 maka alternatif investasi pembiayaan yang dapat diupayakan adalah melalui joint venture (JV) antara pemerintah dengan swasta nasional atau asing dengan pemerintah sebagai pemegang saham pengendali. Alternatif lainnya dengan mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 tahun 2016 adalah dengan mekanisme ‘bangun guna serah’ (BGS) atau build operate and transfer (BOT).
Pada akhirnya melalui mekanisme JV ataupun BGS/BOT, selain akan mendatangkan tambahan pembiayaan tanpa menambah utang, juga pada akhirnya aset tetap akan dikuasai oleh negara sehingga sejalan dengan roh pembangunan dan Pasal 33 UUD 1945. Dalam hal ini juga perlu dipahami bahwa pada sektor-sektor tertentu terkait investasi dan pembiayaan tidak dapat dilakukan dengan mekanisme JV maupun BGS/BOT.
*)Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., adalah Associate Profesor, Faculty Member, International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya.
Catatan Redaksi: Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution. |