Penghapusan Pasal 20 UU Paten Dinilai Syarat Agenda Liberalisasi dan Monopoli Paten Obat
Berita

Penghapusan Pasal 20 UU Paten Dinilai Syarat Agenda Liberalisasi dan Monopoli Paten Obat

Pasal 110 Omnibus Law Cipta Kerja hanya akan kembali memperkuat ruang monopoli paten obat oleh perusahaan-perusahaan farmasi besar sehingga berdampak jangka panjang bagi pemenuhan jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

“Justru, di tengah pandemi covid-19 masyarakat Indonesia membutuhkan pasal 20 UU Paten ini untuk dapat membuka akses seluas-luasnya obat dan alat medis yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19. Jangan karena lobi pemerintah negara-negara besar seperti Jepang, AS, dan Uni Eropa,Swiss serta perusahaan farmasi besar seperti Roche, Novartis, GSK, dan sebagainya tidak suka dengan pasal itu, lantas pemerintah begitu saja menghapuskan pasal tersebut,” ungkap Rachmi.

Ia mempertanyakan letak kepentingan rakyat dalam pertimbangan pemerintah dan menghapus Pasal 20 UU Paten. Rachmi menilai pengaturan tentang paten seharusnya seimbang antara kewajiban pemegang paten dan pemenuhan hak publik. Menurut Rachmi, ketentuan pasal 110 Omnibus law, memperlihatkan pemerintah berpihak pada kepentingan korporasi dengan memperkuat dan memperpanjang monopoli obat.

Lebih lanjut, Rachmi menjelaskan bahwa revisi terhadap UU Paten juga merupakan bagian dari janji yang diberikan Pemerintah dalam perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara-negara EFTA. Perjanjian I-EFTA CEPA telah ditandatangani pada November 2018 yang lalu. 

“Swiss adalah negara asal dari perusahaan farmasi besar seperti Roche dan Novartis. Mereka telah berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk berkomitmen melindungi kepentingan korporasi daripada kepentingan rakyat terhadap hak atas kesehatan”, tegas Rachmi.

Terkait hal ini, jjika merujuk Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, ada 7 alasan mengapa pemerintah ingin mencabut Pasal 20 UU Paten. Pertama, perlu ada fleksibilitas kewajiban membuat produk dalam kaitannya dengan paten dan transfer teknologi. Kedua, Pasal 20 UU Paten melanggar TRIPs Agreement. Ketiga, pelanggaran Pasal 20 UU Paten dapat berakibat pada pencabutan paten.

Keempat, ketentuan Pasal 20 UU Paten tak dapat diterapkan untuk semua jenis teknologi. Kelima, kewajiban transfer teknologi dan proses paten menurunkan investasi. Keenam, dalam praktik sulit dijalankan. Ketujuh, transfer teknologi susah dipraktikkan di dalam negeri.

Staf Ahli Kementerian Hukum dan HAM bidang ekonomi, Razilu beberapa waktu lalu menjelaskan, ketentuan Pasal 20 UU Paten tidak sesuai dengan TRIPs dan menyulitkan dari segi pelaksanaan Paten. “Kemungkinan besar semua negara sudah menghapusnya,” ungkap Razilu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait