Pengunduran Diri PNS untuk Jaga Netralitas
Berita

Pengunduran Diri PNS untuk Jaga Netralitas

Pemerintah dan DPR meminta agar permohonan ini ditolak.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
  “Pegawai ASN harus menjaga netralitas dari pengaruh politik, sehingga wajar kalau pegawai ASN harus mengundurkan diri sebelum menjadi calon bupati/walikota,” ujar Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi dalam sidang lanjutan pengujian UUNo. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Gedung MK, Kamis (26/2).     Menurutnya, berlakunya pasal-pasal tersebut sama saja menghalangi hak PNS untuk ikut serta dalam struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Akibatnya, PNS akan ragu untuk mencalonkan diri menjadi pejabat negara atau kepala daerah karena kalau tidak terpilih status PNS-nya tidak kembali.       Fathul Hadi Utsman sebagai kuasanya, pemerintah mengakui ada perbedaan status antara PNS dan PPPK.

“PPPK merupakan pegawai profesional memiliki masa kerja tertentu sesuai kebutuhan instansi terkait dan tidak memiliki nomor induk pegawai (NIP),” kata dia.

Sama halnya dengan PNS, manajemen PPPK meliputi penetapan kebutuhan, pengadaan, penilaian kinerja, gaji dan tunjangan, pengembangan kompetensi, pemberian penghargaan, perlindungan, dan pemutusan hubungan perjanjian kerja. PPPK juga mendapatkan remunerasi, tunjangan sosial, kesejahteraan yang hampir sama seperti PNS. Jadi, pemerintah tak sependapat jika para pemohon yang berstatus sebagai tenaga honorer atau tidak tetap disamakan dengan PPPK pemerintah.  

“Apabila para pemohon ingin diangkat sebagai PPPK harus memenuhi persyaratan dan tahapan yang ditentukan,” kata dia. “Sehingga, pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tidak berdasar atau tidak sesuai filosofis UU ASN dan harus ditolak.”

Sementara DPR memandang UU ASN membedakan antara mana pejabat negara yang dipilih langsung oleh rakyat dan diangkat langsung tanpa pemilihan. Terkait pencalonan untuk maju sebagai calon gubernur, bupati, walilkota, calon anggota DPR, DPRD harus mengundurkan diri karena sifatnya yang dipilih secara langsung oleh rakyat.

“Jabatan itu memang harus mengundurkan diri karena pengusulannya harus melalui partai politik. Sementara ASN itu harus netral dan profesional,” ujar Kuasa Hukum DPR, Arsul Sani.

Sedangkan, untuk jabatan seperti hakim MK, komisioner Komisi Yudisial (KY) maupun Komisi Pemberantasan Korupsi tidak diperlukan pengunduran diri karena tidak dipilih langsung oleh rakyat. Namun demikian, ketika menduduki jabatan KY maupun KPK, harus diberhentikan sementara dari jabatan PNS-nya.

Karena itu, pegawai ASN yang mencalonkan diri sebagai gubernur, walikota, bupati maupun anggota DPR serta DPRD harus mengundurkan diri agar bebas dari kepentingan dan intervensi politik.  Politisi PPP itu pun mengatakan bukan hanya UU ASN, dalam UU Pilpres dan Pemilihan Legislatif pun mensyaratkan hal yang sama.

Lagipula, Pasal 9 ayat (2) UU ASN disebutkan pegawai ASN  harus bebas dari intervensi dan pengaruh parpol. Ketentuan itu jelas bahwa pegawai ASN tidak boleh ikut terlibat dalam politik praktis, dan dilarang berpihak dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan. “Jadi, seharusnya permohonan ini ditolak,” harapnya.

Sebelumnya, Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN pun tengah dimohonkan pengujian oleh Eduard Nunaki yang menjabat Asisten Sekda (eselon IIb atau setara pimpinan tinggi pratama) di wilayah Papua yang berniat menjadi kepala daerah. Kedua pasal itu dinilai diskriminatif dan membatasi hak politik pemohon untuk turut serta dalam pemerintahan. Namun, dia tak “rela” melepaskan status PNS-nya apabila harus mengundurkan diri.

Karenanya, dia meminta MK memberi tafsir atas kedua pasal agar jabatan pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah wajib mengundurkan diri dari jabatan itu sejak mendaftar. Bagi Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden dan kepala daerah wajib mengundurkan diri dari jabatan struktural atau fungsional secara sejak mendaftar.

Pemerintan menegaskan norma keharusan Aparatur Sipil Negara (ASN) mengundurkan diri ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah ditujukan untuk menjaga netralitas dari pengaruh partai politik. Selain itu, netralitas ASN ini agar menjamin keutuhan, kekompakan, segala perhatian pada tugas-tugas pelayanan publik bagi masyarakat agar tetap optimal.  



Sebelumnya, pemohon yang teregister dengan nomor 8/PUU-XII/2015 yakni Fathul Hadi Utsman, Abdul Halim, Sugiarto, dan Fatahillah (PNS) mempersoalkan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3),Pasal 124 ayat (2), Pasal 87 ayat (4) huruf c UU ASN yang mengatur keharusan PNS mengundurkan diri ketika hendak mencalonkan diri sebagai pejabat negara, kepala daerah, atau jabatan lain.



Karenanya, para meminta agar pasal-pasal tersebut dinyatakan secara inkontitusional bersyarat sepanjang pengunduran diri PNS dimaknai secara sementara selama pencalonannya menjadi calon pejabat negara, calon kepala daerah, atau calon anggota legislatif. Kata lain, jika tidak terpilih, surat pengunduran diri dapat ditarik kembali sehingga tidak menghilangkan statusnya sebagai PNS. 

Wicipto melanjutkan MK pernah menolak pengujian UU terkait pengujian UU ini melalui putusan No. 12/PUU-XI/2013 jo No. 45/PUU-VIII/2010. Dalam pertimbangan putusan itu, disebutkan “….Dari perspektif kewajiban, keharusan mengundurkan diri sebagai PNS tersebut tidak harus diartikan pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini, melainkan konsekwensi yuridis atas pilihannya sendiri….,” ujar Wicipto mengutip putusan sebelumnya.

Sementara permohonan nomor 9/PUU-XII/2015 terkait pengujian Pasal 1 butir ke-4, Pasal 96 ayat (1), Pasal 98 ayat (2), Pasal 99 ayat (1), (2), Pasal 105 ayat (1) UU ASN terkait status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dengan pemohon Sanusi Afandi dkk dimana
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait