Semakin berkembangnya teknologi jelas berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hadirnya ruang digital sebagai implikasi pesatnya pertumbuhan teknologi tidak dapat terelakkan, eksistensinya memberi dampak positif, sehingga dapat dimanfaatkan menunjang berbagai hal. Namun, ruang digital juga rentan disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk melancarkan aksi kejahatan.
“Cybercrime (kejahatan siber) itu kalau tidak kerja sama dengan pihak luar ya tidak bisa (ditumpas), karena kita punya resource yang terbatas. Contohnya, ada beberapa platform media sosial yang sangat digandrungi di Indonesia, tetapi itu bukan buatan Indonesia. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus bekerja sama dengan mereka,” ujar Jhehan Septiano dari Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dalam pemaparannya pada FGD Konvensi Kejahatan Siber PBB, Rabu (2/11/2022) kemarin.
Menurutnya, kerja sama dengan pihak luar merupakan hal yang tidak dapat terhindarkan dalam menangani kasus kejahatan siber. Apalagi sedikit banyak terdapat kendala yang umum dijumpai dalam penanganan kasus kejahatan siber, dalam hal ini harus bisa disikapi dengan bijak dengan tujuan agar kasus yang ditangani dapat terselesaikan.
Baca Juga:
- Kementerian Luar Negeri Gelar FGD Bahas Konvensi Kejahatan Siber
- Perkembangan Pembahasan Konvensi Kejahatan Siber di PBB
- Upaya Pemulihan Aset Hasil Kejahatan Melalui Kerja Sama Informal
Kerja sama dengan entitas luar negeri seperti Kepolisian negara lain atau enforcement lainnya merupakan hal penting yang menjadi salah satu bagian tugas Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Sebagai contoh, dalam kasus judi online illegal yang beberapa kali berhasil diamankan oleh pihak kepolisian juga merupakan hasil kerja sama dengan entitas luar negeri. “Jadi tidak bisa kita sendiri saja hadapi permasalahan ini, tapi kita harus terbuka dengan entitas luar, enforcement dari luar,” kata dia.
Bila melihat data statistik angka kejahatan hasil cyber patrol periode 2020-2022 dari Direktorat Tindak Pidana Siber terhadap 29 kategori tindak pidana terdapat 3 jenis kejahatan tindak pidana siber yang paling banyak terjadi selama 3 tahun terakhir. Ketiganya ialah penipuan online (online scam), SARA (racism), dan separatism (separatism). Jhehan membeberkan platform sosial media yang paling banyak disalahgunakan pelaku kejahatan untuk menyasar masyarakat adalah Facebook, Instagram, dan WhatsApp.
“Tetapi kita banyak terbantu juga oleh mereka (pihak penyedia platform sosial media) karena mereka kooperatif dengan kita untuk permintaan blokir, suspend, sampai dengan recovery akun, dan sebagainya. Bahkan permintaan data juga pernah mereka lakukan. Terkadang itu ada hal yang urgent, sehingga tidak perlu MLA (treaty on mutual legal assistance), tapi ada juga hal yang patut banget pakai MLA bagi mereka,” ungkapnya.