Pentingnya Memperbaiki Hukum Acara dalam Revisi UU Persaingan Usaha
Utama

Pentingnya Memperbaiki Hukum Acara dalam Revisi UU Persaingan Usaha

Kelembagaan KPPU perlu dibenahi secara menyeluruh. Termasuk hukum acara yang menjadi pedoman penanganan perkara persaingan usaha, seperti batasan kewenangan KPPU, jangka waktu pemeriksaan, standar sistem pembuktian, hingga kewenangan menjatuhkan putusan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi VI DPR terkait masukan draft revisi UU No. 5 Tahun 1999, Selasa (19/11/2019). Foto: RFQ
Suasana Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi VI DPR terkait masukan draft revisi UU No. 5 Tahun 1999, Selasa (19/11/2019). Foto: RFQ

Jelang penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), DPR mulai menyusun dan membahas kembali sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU). Salah satunya, Komisi VI DPR mulai menyusun dan membahas draft revisi UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan mengundang sejumlah narasumber untuk dimintai masukannya.      

 

Salah satunya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof Ningrum Natasya Sirait. Dia menilai ketentuan hukum acara bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu diatur secara jelas dalam draft Revisi UU No. 5 Tahun 1999 dalam upaya proses penegakan hukum yang benar dan adil dalam setiap penanganan perkara persaingan usaha tidak sehat.

 

“Dalam UU 5/1999 tidak mengatur secara gamblang hukum acara KPPU. Akibatnya, KPPU menggunakan diskresinya membuat perluasan mengatur hukum acara dalam bentuk peraturan (internal, red) sebagai ‘terobosan’. Akibatnya, tak sedikit proses penanganan perkara hasilnya kerap dipermasalahkan,” ujar Ningrum Sirait dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (19/11/2019). Baca Juga: Ragam Kritik Advokat terhadap Revisi UU Persaingan Usaha

 

Dia menerangkan selama ini fungsi pemeriksaan, penuntutan, dan penjatuhan putusan menjadi wewenang KPPU (satu atap). Karena itu, dia mengusulkan dalam revisi UU 5/1999 semestinya fungsi itu dipisah dengan melibatkan lembaga pengadilan untuk memeriksa penerapan hukumnya. KPPU fokus pada fungsi pemeriksaan dan penuntutan. Sementara fungsi mengadili dan memutuskan dapat diberikan ke badan pengadilan yang bersifat khusus.

 

“Seperti halnya dalam pemahaman prinsip integrated criminal justice system (dalam penanganan perkara pidana). Misalnya, jika dibandingkan di KPK, fungsi penyidikan dan penuntutan wewenang KPK, tapi lembaga pemutusnya pengadilan tipikor. Jadi, ke depan ketiga fungsi tersebut tidak lagi hanya wewenang satu lembaga yakni KPPU,” usul Ningrum.   

 

Terkait putusan sela, menurut Ningrum juga perlu diperjelas apakah hanya untuk menghentikan sementara perjanjian dan/atau kegiatan? Tak kalah penting, kata dia, standar pembuktian oleh KPPU perlu diperjelas dan dipertegas. “Mekanisme upaya hukum yang dapat ditempuh atas putusan KPPU perlu dipikirkan lebih lanjut. Ini sebaiknya meminta pandangan Mahkamah Agung (MA),” sarannya.  

 

Narasumber lain, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Sukarmi mengatakan UU 5/1999 yang sudah berusia 19 tahun memang sudah saatnya direvisi. “Keberadaan UU 5/1999 dinilai tidak lagi relevan dengan kondisi kekiniaan. Apalagi, umumnya dunia usaha tidak lagi bersifat konvensional, tapi berbasis digital,” kata Sukarmi.  

Tags:

Berita Terkait