Pentingnya Menempatkan UUD 1945 sebagai Revolutie Grondwet
Berita

Pentingnya Menempatkan UUD 1945 sebagai Revolutie Grondwet

UUD 1945 sebagai revolutie grondwet untuk instrumen/alat ukur mengevaluasi hasil amandemen UUD 1945 guna menafsirkan sistem hukum ketatanegaraan yang akan dibangun.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Pemerintahan BJ Habibie berumur pendek, hanya bertahan 570 hari. Kepemimpinan nasional berpindah ke Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Sukarnoputri sebagai wakil presiden. Era kepemimpinan sejak 1999-2004, meningkatnya kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang memegang supremasi dan susunan ketatanegaraan. Misalnya, adanya sidang tahunan MPR untuk meminta laporan kinerja seluruh lembaga tinggi negara.

 

Meski begitu, penguatan kapasitas MPR justru dihancurkan sendiri oleh MPR melalui amandemen 1945. Menurutnya Aidul, alih-alih memperkuat kewenangannya, MPR malah memangkasnya kekuasaannya sendiri. Alhasil, MPR tak lagi dapat disebut sebagai lembaga pemegang supremasi kedaulatan rakyat.

 

“Ini ‘bunuh diri konstitusional’ terutama menghilangkan wewenang MPR untuk menetapkan GBHN yang merupakan instrumen yuridis bagi perwujudan UUD 1945 sebagai revolutie grondwet,” lanjutnya.

 

Konsekuensi perubahan tersebut, MPR menjadi lembaga legislatif yang sejajar dengan presiden sebagai kepala eksekutif. Tentunya, hubungan yang dijalankan berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan dan mekanisme pemeriksaan dan keseimbangan (check and balance). Menurutnya, mengembalikan kembali kedudukan UUD 1945 sebagai revolutie grondwet menjadi penting sebagai instrumen mengevaluasi hasil amandemen UUD 1945 yang sudah dilakukan (constitutional life).

 

“Pemaknaan atas gagasan revolutie grondwet diharapkan dapat menjadi alat evaluasi terhadap hasil amandemen UUD 1945.”

 

Sementara Hendro Nurcahyo berpendapat keberadaan MPR dalam sistem ketatanegaraan merupakan ide yang original. Menurutnya, lembaga ini pendekatannya melalui demokrasi politik dan ekonomi merupakan refleksi dari Pasal 33 UUD 1945 dengan adanya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Semestinya, kata dia, MPR tidak melakukan ‘bunuh diri konstitusi’.

 

“Sistem MPR ini original dan karya bangsa Indonesia sendiri. Kalau ide kesementaraan kita tanggalkan, ide revolusionernya kita gali. Revolusioner itu simpul penting untuk menafsirkan sistem hukum (ketatanegaraan) yang akan kita bangun,” katanya.

Tags:

Berita Terkait