Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Penanganan Kejahatan Seksual
Jeda

Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Penanganan Kejahatan Seksual

LBH Semarang mendorong agar pembahasan dan pengesahan RUU TPKS dipercepat dengan memasukkan jenis-jenis kekerasan berbasis gender online dan menekankan perspektif keadilan gender melalui pemulihan hak-hak korban.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Pelecehan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan”.

Padahal definisi dan tipe-tipe dari KGBO cukup luas, tak sekedar hanya yang diatur dalam Pasal 5 draf RUU TPKS. Karena itu, menjadi penting memasukan rumusan norma tentang jenis tindak pidana KGBO dalam draf RUU TPKS. Dia berpendapat pembentukan hukum semestinya mengikuti perkembangan zaman.

Terlebih teknologi berkembang sedemikian pesat/cepat dan berkelindan dengan munculnya jenis tindak pidana kekerasan seksual berbasis online. Meski terdapat UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah direvisi menjadi UU No.19 Tahuun 2016, tapi sayangnya belum mengatur pemulihan hak-hak korban atau restitusi dan rehabilitasi. UU ITE hanya mengejar pelaku dengan pemidanaan.

Selain aturan yang bersifat lex spesialis dalam penanganan kasus kekerasan seksual, kata dia, kompetensi dan sudut pandang aparat penegak hukum harus berbasis pada keadilan gender. Tak sedikit kasus yang ditangani LBH di daerah sulit berlanjut di tingkat penyelidikan atau penyidikan dengan alasan kurang alat bukti. Padahal korban perlu terlebih dahulu dilindungi untuk ditangani, seperti pendampingan dari psikolog.

Dia berkaca dari beberapa kasus kekerasan seksual yang dialami korban. Menurutnya laporan yang diadukan ke pihak kepolisian banyak yang tidak ditindaklanjuti. Akibatnya, kasus-kasus yang dilaporkan menggantung. Malahan tak jarang korban yang melapor ke polisi, tetap saja tak sesuai harapan. Aparat kepolisian yang menerima laporan malah menjatuhkan mental korban, padahal korban mengalami trauma sepanjang hidupnya.

“Kemudian ada kasus di tingkat penyelidikan dihentikan karena kurangnya saksi dan bukti. Karenanya betapa pentingnya payung hukum khusus dan di Indonesia belum progresif, padahal sudah ada KUHP. Itu hambatannya.”

Seperti diketahui, RUU TPKS akhirnya disetujui menjadi usul insiatif DPR setelah beberapa kali kandas dalam rapat paripurna. Langkah tersebut beriringan dengan respon Presiden Joko Widodo agar mempercepat pembahasan. Presiden pun telah menunjuk sejumlah menteri yang bakal mewakili pemerintah dalam pembahasan bersama DPR. Berdasarkan rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR, RUU TPKS kembali diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) sebagai pihak yang bakal membahas bersama pemerintah.

Tags:

Berita Terkait