Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Penanganan Kejahatan Seksual
Jeda

Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Penanganan Kejahatan Seksual

LBH Semarang mendorong agar pembahasan dan pengesahan RUU TPKS dipercepat dengan memasukkan jenis-jenis kekerasan berbasis gender online dan menekankan perspektif keadilan gender melalui pemulihan hak-hak korban.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Semarang, Tuti Wijaya (bawah) dalam Instagram Live Hukumonline, Rabu (26/1/2022). Foto: RFQ
Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Semarang, Tuti Wijaya (bawah) dalam Instagram Live Hukumonline, Rabu (26/1/2022). Foto: RFQ

Meningkatnya kasus kekerasan seksual di Tanah Air mengharuskan negara bergerak cepat mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR yang berpihak pada keadilan gender. Diharapkan pembahasan dapat dipercepat dan disahkan menjadi UU agar menjadi payung hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang semakin marak.

Asisten Pengabdi Bantuan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Tuti Wijaya mengatakan RUU TPKS yang menjadi usul inisiatif DPR dan komitmen pemerintah menjadi nilai positif. Meskipun dia melihat dalam proses pembahasan RUU TPKS antara DPR dan pemerintah menghadapi kendala. “Seperti di dalam internal DPR sendiri, itu masih terjadi tarik ulur, ada pro kontra,” ujar Tuti Wijaya melalui kanal Instagram Live Hukumonline, Rabu (26/1/2022).

Dia mengingatkan pembentuk UU akan pentingnya pengesahan RUU TPKS untuk segera dipercepat. Hukum positif yang berlaku masih menggunakan KUHP sebagai hukum materil. Sementara dalam Rancangan KUHP masih berstatus dibahas di DPR bersama pemerintah belum mengakomodir perkembangan jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual.

Menurutnya, perkembangan teknologi menyumbang munculnya jenis tindak pidana baru dalam ranah kekerasan seksual. Seperti kekerasan berbasis gender online (KBGO). Dalam draf RKUHP masih sebatas jenis tindak pidana perkosaan dan pencabulan. Dia menilai pengaturan jenis tindak pidana asusila dalam RKUHP tidak progresif. Padahal, kasus-kasus yang ditangani LBH jauh lebih beragam jenis kekerasan seksual.

LBH tempatnya bernaung bersama kelompok akademisi telah berupaya menyusun draf RUU TPKS. Dalam RUU TPKS terdapat beberapa usulan. Salah satunya memasukan tindak pidana KBGO dalam jenis tindak pidana kekerasan seksual. Sebab, dalam materi RUU TPKS yang dibahas DPR dan pamerintah tidak memasukan KBGO ke dalam jenis tindak pidana kekerasan seksual.

“Untuk itu, diperlukan UU yang bersifat lex specialis dalam penanganan kasus kekerasan seksual melalui UU TPKS itu.”

(Baca Juga: Perlu Penanganan Terhadap Kejahatan Seksual Anak)

Dalam draf RUU TPKS terdapat rumusan norma Pasal 5 ayat (1) menyebutkan, “Setiap Orang yang mengirim dan/atau menyebarluaskan gambar dan/atau rekaman segala sesuatu yang bermuatan seksual kepada orang lain, di luar kehendak orang lain tersebut, atau dengan maksud memeras/mengancam/memperdaya agar orang itu tunduk pada kemauannya, dipidana karena melakukan pelecehan seksual berbasis elektronik dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).  Sedangkan ayat (2) menyebutkan,

Pelecehan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan”.

Padahal definisi dan tipe-tipe dari KGBO cukup luas, tak sekedar hanya yang diatur dalam Pasal 5 draf RUU TPKS. Karena itu, menjadi penting memasukan rumusan norma tentang jenis tindak pidana KGBO dalam draf RUU TPKS. Dia berpendapat pembentukan hukum semestinya mengikuti perkembangan zaman.

Terlebih teknologi berkembang sedemikian pesat/cepat dan berkelindan dengan munculnya jenis tindak pidana kekerasan seksual berbasis online. Meski terdapat UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah direvisi menjadi UU No.19 Tahuun 2016, tapi sayangnya belum mengatur pemulihan hak-hak korban atau restitusi dan rehabilitasi. UU ITE hanya mengejar pelaku dengan pemidanaan.

Selain aturan yang bersifat lex spesialis dalam penanganan kasus kekerasan seksual, kata dia, kompetensi dan sudut pandang aparat penegak hukum harus berbasis pada keadilan gender. Tak sedikit kasus yang ditangani LBH di daerah sulit berlanjut di tingkat penyelidikan atau penyidikan dengan alasan kurang alat bukti. Padahal korban perlu terlebih dahulu dilindungi untuk ditangani, seperti pendampingan dari psikolog.

Dia berkaca dari beberapa kasus kekerasan seksual yang dialami korban. Menurutnya laporan yang diadukan ke pihak kepolisian banyak yang tidak ditindaklanjuti. Akibatnya, kasus-kasus yang dilaporkan menggantung. Malahan tak jarang korban yang melapor ke polisi, tetap saja tak sesuai harapan. Aparat kepolisian yang menerima laporan malah menjatuhkan mental korban, padahal korban mengalami trauma sepanjang hidupnya.

“Kemudian ada kasus di tingkat penyelidikan dihentikan karena kurangnya saksi dan bukti. Karenanya betapa pentingnya payung hukum khusus dan di Indonesia belum progresif, padahal sudah ada KUHP. Itu hambatannya.”

Seperti diketahui, RUU TPKS akhirnya disetujui menjadi usul insiatif DPR setelah beberapa kali kandas dalam rapat paripurna. Langkah tersebut beriringan dengan respon Presiden Joko Widodo agar mempercepat pembahasan. Presiden pun telah menunjuk sejumlah menteri yang bakal mewakili pemerintah dalam pembahasan bersama DPR. Berdasarkan rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR, RUU TPKS kembali diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) sebagai pihak yang bakal membahas bersama pemerintah.

Tags:

Berita Terkait