Polemik Penundaan Pemilu dari Aspek Hukum Tata Negara
Utama

Polemik Penundaan Pemilu dari Aspek Hukum Tata Negara

Penundaan Pemilu dinilai menabrak konstitusi, perampasan hak rakyat, serta menambah masalah yang menguras energi bangsa.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Kolase kiri ke kanan: Jimly Asshiddiqie, Hamdan Zoelva, Yusril Ihza Mahendra. Foto: Istimewa
Kolase kiri ke kanan: Jimly Asshiddiqie, Hamdan Zoelva, Yusril Ihza Mahendra. Foto: Istimewa

Sepekan terakhir, publik dibuat kisruh ‘sejumlah elite partai politik’ yang mengusulkan penundaan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Sejumlah kalangan angkat bicara, tak terkecuali para pakar hukum tata negara. Gonjang-ganjing penundaan pemilu bagi sebagian kalangan dinilai sebagai upaya menabrak konstitusi, hingga mementingkan syahwat oligarki. Padahal agenda penyelenggaraan Pemilu digelar Februari 2024 seperti yang telah disepakati DPR dan pemerintah.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015 Hamdan Zoelva berpandangan, penundaan pemilu bentuk perampasan hak rakyat. Sebab, dalam Pasal 22E UUD 1945 secara tegas mengatur pelaksanaan Pemilu digelar per lima tahun. Jika ingin menunda Pemilu, maka mesti mengubah rumusan Pasal 22E sesuai ketentuan dalam Pasal 37 UUD 1945. Baginya, tak ada alasan moral, etik dan demokrasi menunda pemilu.

“(Jika menunda Pemilu) Dapat dikatakan merampas hak rakyat memilih pemimpinnya 5 tahun sekali. Tapi kalau dipaksakan dan kekuatan mayoritas MPR setuju, siapa yang dapat menghambat. Putusan MPR formal sah dan konstitusional. Soal legitimasi rakyat urusan lain,” ujarnya melalui akun twitternya, Sabtu (27/2/2022) pekan lalu.

Jika pemilu ditunda 1-2 tahun, lanjut Hamdan Zoelva, siapa yang akan menjabat presiden, anggota kabinet menteri, dan anggota DPR, DPD, DPRD seluruh Indonesia. Sebab masa jabatan seluruhnya berakhir pada September 2024. Lagipula, konstitusi tidak mengenal pejabat presiden, tapi pelaksana tugas kepresidenan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Menteri Luar Negeri (Menlu) dan Menteri Pertahanan (Menhan).

Tapi itupun, kata Hamdan menjadi soal. Sebab jabatan Mendagri, Menlu dan Menhan berakhir dengan berhentinya masa jabatan presiden dan wapres. Kecuali, MPR menetapkan lebih dahulu sebagai pelaksana tugas kepresidenan. Berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, MPR dapat mengangkat presiden dan wapres menggantikan pejabat presiden dan wapres yang berhenti atau diberhentikan sampai terpilihnya presiden dan wapres hasil pemilu.

Baca Juga:

Menurutnya, MPR memilih dan menetapkan salah satu dari dua pasangan calon presiden dan wapres yang diusulkan parpol atau gabungan parpol yang pasangan capresnya mendapat suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu. Nah dalam kondisi tersebut siapapun dapat diusulkan, tak harus presiden yang sedang menjabat.

Tags:

Berita Terkait