Penunggak Iuran JKN Terancam Tak Bisa Akses Layanan Publik
Berita

Penunggak Iuran JKN Terancam Tak Bisa Akses Layanan Publik

Seperti tidak mendapat layanan pengurusan IMB, SIM, sertifikat tanah, paspor, atau STNK. Meski instrumen hukum yang ada sudah memadai, tapi penerapan sanksi administratif berupa tidak mendapatkan pelayanan publik itu belum berjalan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Dia menjelaskan pengenaan sanksi administratif ini bukan untuk menyusahkan masyarakat, tapi mendorong terwujudnya prinsip gotong royong. Seperti diketahui, prinsip paling utama sistem jaminan sosial nasional yaitu gotong royong. Menurut Fachmi masyarakat sudah mengetahui manfaat program JKN, sekarang waktunya untuk mengubah perilaku masyarakat dan meningkatkan kesadaran pentingnya menjaga keberlanjutan program ini.

 

Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Umi Kalsum Komaryani mengatakan penegakan kepatuhan penting untuk menjaga keberlanjutan program JKN. Untuk melaksanakan PP No.86 Tahun 2013, pemerintah akan menerbitkan Inpres. Pembahasan Inpres itu dikoordinir oleh Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

 

Perempuan yang disapa Yani itu menyebutkan Inpres ini intinya memerintahkan sekitar 26 kementerian dan lembaga termasuk gubernur, bupati/walikota untuk memperluas cakupan JKN dan menjaga kolektabilitas iuran. “Mungkin nanti akan dijaring pada setiap pelayanan publik, ketika mengakses pelayanan itu sudah dipastikan yang bersangkutan sudah menjadi peserta JKN yang rutin membayar iuran,” kata dia.

 

Yani mencontohkan jenis pelayanan publik yang ada di kementerian dan dinas kesehatan yakni surat izin praktik dokter dan tenaga kesehatan. Untuk dapat mengakses pelayanan publik itu pihak yang mengurus izin harus terdaftar menjadi peserta JKN dan rutin membayar iuran.

 

Bersifat repsesif

Menanggapi rencana itu, anggota Komunitas Peduli BPJS Kesehatan Wendra Puji menilai rancangan kebijakan itu bersifat represif terhadap peserta BPJS Kesehatan mandiri. Menurutnya, manajemen BPJS Kesehatan justru dapat disebut merugikan peserta. Karena itu, rencana kebijakan ini harus dikaji kembali apakah defisit selama ini merugikan BPJS Kesehatan dan peserta? Jika merugikan dapat mengancam jabatan direksi BPJS Kesehatan.

 

“Pasal 34 UU BPJS menyebut anggota dewan pengawas atau direksi diberhentikan jabatannya karena merugikan BPJS dan kepentingan peserta jaminan sosial karena kesalahan kebijakan yang diambil,” kata Wendra dalam keterangannya.

 

Menurut dia, negara wajib menjamin program jaminan sosial bagi warga negaranya sebagaimana amanat konstitusi. Wendra menilai manajemen BPJS Kesehatan harus lebih bijak menyikapi situasi yang dihadapi BPJS Kesehatan. “Lebih baik manajemen BPJS Kesehatan fokus mencapai target penerimaan pembayaran iuran yang kerap ditudung sebagai salah satu penyebab defisit dan meningkatkan mutu pelayanan di RS,” katanya.

Tags:

Berita Terkait