Penyandang Disabilitas Sering Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Terbaru

Penyandang Disabilitas Sering Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Di Jawa Barat, tidak kurang dari 20 kasus yang ditangani kepolisian korbannya adalah penyandang disabilitas.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat Kombes Pol. K. Yani Sudarto. Foto: Ferinda
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat Kombes Pol. K. Yani Sudarto. Foto: Ferinda

Penyandang disabilitas sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas) dimaknai sebagai setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama sehingga menghadapi hambatan dan kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan secara efektif. Dengan keterbatasan yang dialami, para penyandang disabilitas acapkali menjadi korban dari suatu tindak pidana.

“Data korban tindak pidana disabilitas di seluruh jajaran Polda jawa Barat macam-macam tindak pidana yang mereka alami. Kemudian juga jenis difabelnya macam-macam. Ada yang tuna wicara (bisu), tuna grahita (keterbelakangan mental), dan lain-lain,” jelas Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Pol K. Yani Sudarto dalam webinar bertajuk ‘Praktik Pendampingan Hukum bagi Individu dengan Disabilitas Intelektual dan Perkembangan, Sabtu’ (19/3/2022).

Berdasarkan data yang dihimpun sepanjang 2010-2022 saja, setidaknya terdapat 20 kasus tindak pidana dengan korban disabilitas di jajaran Polda Jawa Barat. Dari angka tersebut, mayoritas korban berjenis kelamin perempuan. Hanya satu korban berjenis kelamin anak laki-laki. Mayoritas korban tergolong dalam jenis disabilitas tuna grahita atau keterbelakangan mental.

Usia dari para korban disabilitas pun cukup beragam. dari yang berusia paling muda 11 tahun, hingga yang paling tua 40 tahun. Dari data yang dimiliki Polda Jabar dan RES Jajaran itu pula ditemukan fakta bahwa para korban disabilitas didominasi oleh korban dari tindak pidana pemerkosaan. Pasal yang dikenakan kepada para pelaku antara lain Pasal 285 KUHP, Pasal 286 KUHP, Pasal 289 KUHP, Pasal 290 KUHP, Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak.

Pengungkapan kasus ini tak hanya dilakukan kepolisian sendiri, melainkan bekerjasama dengan pemangku kepentingan lain seperti kelompok masyarakat yang mengadvokasi isu disabilitas. “Kami bekerja sama dengan LSM pemerhati kaum difabel dan kami cukup intens dengan organisasi ini. Apabila ada anggotanya yang bermasalah hukum mereka selalu mengkomunikasikan dengan kita jadi kesannya mereka bukan warga yang dipinggirkan tetapi justru mereka mendapat perhatian luar biasa dari pemerintah. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan kami terhadap mereka itu juga menjadi prioritas,” terang Yani.

Untuk diketahui, diantara kasus yang ada, sejumlah perkara sudah dinyatakan lengkap berkasnya (P21), sudah dilimpahkan ke Kejaksanaan. Ini adalah perkara dua korban perrempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan. Yang lain masih dalam penyelidikan dan penyidikan. Seiring dengan kebijakan restorative justice, kemungkinan tidak semua perkara ini dilimpahkan ke pengadilan.

Peran psikolog

Dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan penyandang disabilitas, baik sebagai terdakwa, maupun saksi atau korban, Polda Jawa Barat telah melibatkan psikolog. Psikolog bertugas melakukan identifikasi dari sudut pandang psikologi agar suatu kasus menjadi terang sehingga mampu menjelaskan runtutan latar belakang perilaku mengapa suatu kasus dapat terjadi. Pada dasarnya psikolog mendukung proses penyelidikan dan penyidikan untuk memperjelas suatu kasus, terutama kasus yang menonjol.

Psikolog Yusi Hariyumanti menerangkan bahwa rata-rata yang mengalami disabilitas yang dalam hal ini terkhususnya intelektual itu tidak mau atau enggan menceritakan pada keluarganya tentang dirinya dilecehkan atau telah mengalami kekerasan seksual. “Untuk tindak lanjut, kami lakukan ke rumah-rumah yang disebut lembaga swadaya masyarakat ataupun lembaga hukum yang mendukung. Tetapi kadang-kadang berkoordinasi juga dengan kami. Sehingga segala hal yang berkaitan dengan kasus disabilitas intelektual bisa tertangani dan rata-rata kasusnya sudah bisa tertangani. Kalaupun mereka korban, pelakunya sudah tertangkap. Kalau mereka tersangka, ada beberapa hal yang menjadi kebijakan hakim nantinya dari saksi ahli kami,” pungkasnya.

Berdasarkan pengalamannya melakukan pendampingan korban penyandang disabilitas di tingkat penyelidikan dan penyidikan, Yusi Hariyumanti menjelaskan hasil pendampingkan dapat berupa uraian krononologis dan latar belakang munculnya perilaku; kesimpulan dan analisis evaluasi pemeriksaan oleh psikolog; dan menetapkan karakteristik berdasarkan hasil pemeriksaan. “Tindak lanjut dari laporan pemeriksaan psikologis bila perlu penanganan akibat trauma psikis yang dialami korban, maka dirujuk ke rekanan psikolog luar untuk diberikan terapi lanjutan atau ke psikiater,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait