Penyebab Bencana Alam, Ini Pandangan Koalisi Masyarakat Sipil
Utama

Penyebab Bencana Alam, Ini Pandangan Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi menilai bencana yang terjadi buah dari maraknya penerbitan izin usaha pertambangan, kelapa sawit, kayu, bagi korporasi. Pemerintah harus mengevaluasi izin yang berkontribusi menyebabkan banjir dengan melakukan penegakkan hukum, seperti pencabutan izin, pidana, dan perdata. Dilanjutkan dengan moratorium untuk kegiatan usaha sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

“Bencana yang terjadi di beberapa wilayah merupakan dampak pemanasan global dan perubahan iklim, tapi kita tidak sadar dan terus melakukan eksploitasi. Ini ibaratnya seperti menggali lubang kubur sendiri,” kata Yaya dalam diskusi secara daring bertema “Dosa Oligarki Derita Rakyat”, Jumat (29/1/2021).

Mengutip data BNPB, Yaya mengatakan tahun 2020 terjadi 2.695 kasus bencana. Bencana paling banyak berupa banjir, puting beliung, dan kekeringan. Dari jumlah bencana tersebut sebanyak 5,7 juta orang menjadi pengungsi. Menurut Yaya, bencana ekologis ini berulang setiap tahun seiring bergantinya musim. “Ketika hujan sejumlah daerah mengalami banjir, masuk musim kemarau mengalami kekeringan dan karhutla,” kata dia.

Ketua tim kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menampik alasan Jokowi yang menyebut banjir di Kalimantan Selatan karena curah hujan tinggi. Arie menyebut wilayah ekosistem di Kalimantan Selatan berada dalam titik kritis, sehingga rawan bencana seperti banjir dan karhutla. Hutan di Kalimantan Selatan sudah dibebani perizinan mulai dari industri kayu, perkebunan sawit, dan pertambangan.

Luas tutupan hutan di daerah aliran sungai (DAS) Barito hanya tersisa 49 persen. Hilangnya hutan di sebagian DAS Barito karena beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. “Wilayah Kalimantan Selatan yang mengalami banjir itu dalam 5 tahun terakhir juga mengalami karhutla,” kata dia.

Arie menjelaskan fakta di Kalimantan Selatan menunjukkan deforestasi dan tata guna lahan berkontribusi terhadap bencana banjir. Sayangnya pemerintah tidak mau melihat akar masalah tersebut, padahal sekitar 53 persen di sekitar DAS Barito merupakan wilayah konsesi. “Tutupan hutan di sepanjang DAS Barito banyak yang hilang,” ujarnya.

Sebagaimana disampaikan Yaya, Arie menegaskan banyak penelitian yang membuktikan perubahan iklim berkontribusi terhadap timbulnya bencana, tapi pemerintah seolah tak percaya. Hilangnya hutan di DAS yang ada di Kalimantan Selatan berdampak terhadap kenaikan suhu udara, sehingga meningkatkan suhu secara ekstrim.

Regulasi kepentingan oligarki

Koordinator Jatam, Merah Johansyah, mengatakan oligarki tambang diuntungkan oleh berbagai regulasi, seperti revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, Jatam mencatat tahun 2020 merupakan tahun panen ijon politik yang dilakukan pelaku bisnis pertambangan.

Tags:

Berita Terkait