Penyebab Minimnya Pencatatan Perjanjian Kawin
Hukum Perkawinan Kontemporer

Penyebab Minimnya Pencatatan Perjanjian Kawin

​​​​​​​Karena pembuatan perjanjian kawin tidak menjadi kebiasaan/budaya bagi calon pasutri/pasutri di Indonesia dan prosedurnya harus melibatkan notaris dan pegawai pencatat perkawinan.  

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Belum ada yang didaftar

Namun, hampir dua tahun setelah terbitnya putusan MK itu, belum ada perjanjian perkawinan sesuai amanat putusan MK itu yang dicatatkan di KUA ataupun kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) pada pemerintah kabupaten/kota seluruh Indonesia. Sebab, Kemenag belum menerima laporan dari setiap KUA terkait data pencatatan perjanjian kawin bagi pasangan yang beragama Islam.   

 

“Kami belum terima laporannya dari 5.707 KUA seluruh Indonesia. Ini mungkin karena belum diketahui masyarakat, masih sosialisasi karena petunjuk teknisnya kan masih baru. Yang pasti ini menjadi syarat pembuatan perjanjian kawin bagi pasangan yang beragama Islam di KUA,” ujar Muhammadiyah Amin.   

 

Hal senada disampaikan Dirjen Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Prof Zudan Arif Fakhrulloh. Dia mengungkapkan belum ada satu pun pencatatan perjanjian kawin yang dilaporkan ke Kantor Dinas Dukcapil yang jumlahnya sekitar 514 Pemerintah Kabupaten/Kota.

 

“Kemendagri juga sudah buat surat edaran bahwa kalau ada pasutri yang baru membuat perjanjian kawin, ingin dicatatkan agar diterima (Dinas Dukcapil). Tetapi, saya sempat tanya ke daerah-daerah, mereka jawabnya, ‘Belum ada yang didaftarkan Pak’,” tutur Zudan Arif Fakhrulloh saat dihubungi belum lama ini.  

 

 
Zudan menduga penyebab sangat minimnya pendaftaran perjanjian kawin lantaran pembuatan perjanjian dalam perkawinan belum menjadi kebiasaan di masyarakat Indonesia. “Di Indonesia perjanjian kawin belum jadi kebiasaan. Ini analisis (asumsi sementara) saya, tetapi ini kan perlu ditanyakan setiap pasutri kenapa mereka tidak membuat perjanjian kawin. Bisa jadi mereka tidak butuh, cukup dengan iktikad baik saja,” kata Zudan.

 

Sebab lain, kata Zudan, proses pembuatan perjanjian perkawinan harus melibatkan notaris dan pegawai pencatat perkawinan. Dia menegaskan Dinas Dukcapil di daerah memang tidak menerima perjanjian kawin yang tidak berupa akta atau pengesahan perjanjian kawin oleh notaris. Selain itu, perkawinannya juga harus tercatat (di KUA atau Dinas Dukcapil). “Jadi, tidak boleh nikah siri, kemudian membuat perjanjian kawin,” tegasnya.

 

Muhammadiyah Amin tak menampik bahwa perjanjian perkawinan tidak populer di kalangan calon pasutri atau pasutri yang perkawinannya tercatat di KUA setempat. Sebab, perjanjian kawin sendiri bukan sesuatu yang umum atau kebiasaan yang banyak dilakukan bagi calon pasutri atau pasutri di Indonesia. “Tetapi, apa ini (perjanjian kawin) tidak sesuai dengan budaya (etika), saya belum bisa simpulkan,” katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait