Penyelesaian Konflik Papua dalam Perspektif Hukum Humaniter
Kolom

Penyelesaian Konflik Papua dalam Perspektif Hukum Humaniter

Pendekatan militer bukanlah pilihan.

Bacaan 7 Menit
Diajeng Wulan Christiani. Foto: Istimewa
Diajeng Wulan Christiani. Foto: Istimewa

Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kembali melakukan penembakkan kepada penduduk sipil yakni guru dan tukang ojek di Kabupaten Puncak Papua. Sebelumnya, KKB juga melakukan penyanderaan kepada pilot dan awak Susi Air di Lapangan Terbang Wangbe, Kabupaten Puncak, Papua.

Tidak hanya menyasar warga sipil, pada Bulan Februari, kontak tembak terjadi di Papua dan menewaskan satu prajurit TNI saat KKB melakukan penyerangan Pos Komando Taktis TNI yang terletak di Kabupaten Intan Jaya. Tidak lama setelah insiden penembakan itu terjadi, aparat polisi dan militer kembali diserang di areal Freeport. Penyerangan dan penyanderaan warga sipil kerap dilakukan oleh KKB. Pada tahun 2018, terjadi lebih dari 10 kasus penembakan terhadap 31 orang pekerja PT Istana Karya.

Maraknya kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua mengundang banyak respon masyarakat khususnya berkenaan dengan tindakan apa yang sepantasnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dari mulai penggunaan cara damai dan bermartabat hingga cara-cara kekerasan dan serangan militer. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan masukan mengenai langkah apa yang selayaknya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan perspektif hukum humaniter.

Hukum humaniter (atau yang juga kerap disebut sebagai Hukum Perang) adalah salah satu cabang dari hukum internasional yang berlaku pada dua situasi konflik bersenjata yakni internasional dan non-internasional. Pihak dalam konflik bersenjata internasional adalah negara, sementara bagi non-internasional adalah negara dengan aktor non-negara, atau antara aktor non-negara lainnya.

Pada mulanya, konflik bersenjata non-internasional (atau biasa juga dikenal dengan istilah “civil wars”), dianggap murni sebagai urusan domestik suatu negara. Namun, pandangan ini berubah secara drastis ketika Pasal 3 Konvensi Jenewa diadopsi tahun 1949. Pasal ini dikenal sebagai ‘konvensi mini’ karena merupakan satu-satunya pasal dari keseluruhan aturan dalam Konvensi Jenewa yang berlaku saat konflik bersenjata non-internasional. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa untuk pertama kalinya masyarakat internasional menerima adanya aturan tentang penjaminan penghormatan minimum saat terjadi konflik bersenjata non-internasional.

Berbeda halnya dengan konflik bersenjata internasional yang sudah dapat memicu keberlakuan Hukum Humaniter sesaat ketika terjadi penyerangan oleh tentara suatu negara terhadap negara lain, tidak semua kekerasan bersenjata yang terjadi di satu wilayah negara dapat memicu berlakunya hukum ini. Penerapan hukum ini dalam satu wilayah negara mensyaratkan tingkat kekerasan yang sudah memenuhi ambang batas yang cukup tinggi.

Definisi dan batasan ini tidak secara jelas diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 sehingga akhirnya pada tahun 1977 disepakatilah Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa yang secara khusus mengatur konflik bersenjata non-internasional. Protokol ini berlaku pada situasi permusuhan yang terjadi dalam satu wilayah negara antara angkatan bersenjata dengan kelompok bersenjata yang terorganisir, memiliki komandan yang bertanggungjawab, menguasai suatu wilayah tertentu yang membuat mereka mampu untuk melakukan operasi militer yang terus menerus dan berkelanjutan dan mampu menerapkan aturan dalam Protokol tersebut.  

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait