Penyelesaian Konflik Papua dalam Perspektif Hukum Humaniter
Kolom

Penyelesaian Konflik Papua dalam Perspektif Hukum Humaniter

Pendekatan militer bukanlah pilihan.

Bacaan 7 Menit

Meskipun Pasal 3 Konvensi Jenewa tidak memberikan definisi yang jelas mengenai ambang batas dari konflik bersenjata non-internasional, praktik pengadilan pidana internasional ad-hoc untuk kasus negara bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia-ICTY) melakukan interpretasi dengan memperlihatkan bahwa Pasal 3 dapat diterapkan setidaknya jika telah terjadi intensitas permusuhan bersenjata yang cukup tinggi dan kelompok bersenjata memiliki struktur serta organisasi yang baik.

Sekalipun terkesan bahwa ambang batas penerapan Pasal 3 Konvensi Jenewa lebih rendah dari Protokol II karena tidak mengharuskan pemberontak menguasai suatu wilayah tertentu, ambang batas minimum ini tetap memperlihatkan bahwa hukum humaniter tidak boleh berlaku pada situasi kekerasan yang sporadis serta kerusuhan atau ketegangan dalam negeri biasa. Hal ini berhubungan dengan kedaulatan negara dan prinsip non-intervensi yang dihormati dalam hukum internasional.

Selain itu, aturan hukum humaniter dalam situasi konflik bersenjata internasional dan non-internasional juga berbeda. Dalam situasi konflik bersenjata non-internasional, kelompok bersenjata tidak memiliki hak untuk berperang sehingga mereka boleh ditangkap dan diadili semata-mata karena aktif dalam pertempuran. Hal ini berbeda dengan situasi konflik bersenjata internasional dimana tentara yang membunuh tentara musuh tidak boleh dihukum semata-mata karena keterlibatannya dalam pertempuran. Dengan kata lain, tentara memiliki ‘hak untuk aktif dalam pertempuran’ dan hak tersebut tidak dikenal dalam situasi konflik bersenjata non-internasional.

Secara teoritis, hukum humaniter tentang konflik bersenjata non-internasional harus dilihat sebagai cabang hukum yang berbeda dengan hukum humaniter yang berlaku saat konflik bersenjata internasional. Fakta bahwa konflik bersenjata non-internasional terjadi dalam wilayah suatu negara menjadikan aturan hukum ini tidak selengkap dalam situasi konflik bersenjata internasional. Padahal, aturan hukum humaniter dalam situasi konflik bersenjata non-internasional harus mampu untuk memberikan solusi jika timbul permasalahan yang sama seperti halnya yang terjadi saat konflik bersenjata antar negara. Agar bisa mengisi kekosongan aturan hukum tersebut analogi aturan hukum humaniter yang berlaku saat situasi konflik bersenjata internasional dapat diterapkan dengan cara melihat apakah aturan tersebut dapat dikategorikan sebagai hukum kebiasaan yang juga berlaku saat konflik bersenjata non-internasional atau dengan melihat apakah sifat dari konflik bersenjata non-internasional tersebut memungkinkan aturan konflik bersenjata internasional yang sama berlaku. 

Hukum Humaniter dalam situasi konflik bersenjata non-internasional lebih banyak dipengaruhi oleh aturan Hukum HAM tentang penjaminan hak fundamental manusia dalam keadaan apapun termasuk perang dengan mengedepankan fakta bahwa korban konflik bersenjata non-internasional memiliki hak yang sama untuk dilindungi dan mendapatkan bantuan kemanusiaan seperti halnya konflik bersenjata internasional. Sebagai konsekuensi hukumnya, perlindungan dan bantuan kemanusiaan saat konflik bersenjata non-internasional yang diatur dalam hukum humaniter tersebut tidak boleh dianggap sebagai bentuk intervensi hukum internasional terhadap urusan domestik suatu negara. Akibatnya, banyak negara yang enggan untuk terikat dengan aturan hukum humaniter yang berlaku saat konflik bersenjata non-internasional termasuk Indonesia. Alasan utama penolakan ini adalah mereka menolak untuk didikte bagaimana seharusnya mereka memperlakukan pemberontak di wilayahnya.

Namun, fakta bahwa Indonesia hingga saat ini belum tergerak untuk menjadi pihak Protokol II tahun 1977 tidak serta merta diartikan bahwa aturan hukum humaniter tidak berlaku dalam konflik bersenjata non-internasional di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di atas, aturan hukum humaniter tentang konflik bersenjata non-internasional tidak hanya diatur dalam Protokol II namun juga terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 di mana Indonesia sudah menjadi pihak melalui Undang-Undang Ratifikasi Konvensi Jenewa No.59 tahun 1958.

Dengan demikian, Indonesia tetap memiliki kewajiban untuk menaati aturan hukum humaniter termasuk saat terjadi konflik bersenjata non-internasional. Agar terhindar dari penerapan aturan hukum ini, Pemerintah Indonesia harus memiliki pemahaman yang memadai tentang ambang batas minimum berlakunya aturan Hukum Humaniter dalam konflik bersenjata non-internasional. Tindakan-tindakan yang sekiranya berpotensi untuk menaikan eskalasi konflik serta memperkuat struktur organisasi dari kelompok bersenjata harus dihindari. Hal ini dikarenakan pemberlakuan Hukum Humaniter tidak bergantung dari apakah suatu negara mengakui atau tidak bahwa diwilayahnya terjadi konflik bersenjata non-internasional, melainkan berdasarkan fakta dan praktik di lapangan.

Tags:

Berita Terkait