Penyelesaian Konflik Tata Ruang Bakal Diatur Lewat RUU Cipta Kerja
Berita

Penyelesaian Konflik Tata Ruang Bakal Diatur Lewat RUU Cipta Kerja

Nantinya, RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 6 ayat (5) UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sehingga penyelesaian tumpang tindih antar batas wilayah, tata ruang, kawasan hutan, izin, dan/atau hak atas tanah termasuk konflik lahan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Ketiga, kebun sawit yang dikelola masyarakat dan berada di kawasan hutan produksi terbatas, maka diusulkan untuk merevisi tata ruang oleh pemerintah daerah (pemda), pengurusan IUP/STDB setelah dilakukan revisi tata ruang. Jika pengelola kebun sawit di hutan produksi terbatas itu korporasi, dikenakan denda dan wajib mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan.

Keempat, penyelesaian sengketa kebun sawit di hutan produksi konversi dilakukan dengan cara pengusulan revisi tata ruang oleh pemda, pengurusan IUP/STDB setelah revisi tata ruang. Bagi perusahaan, akan dikenakan denda dan wajib mengurus izin pelepasan kawasan hutan.

Belum terintegrasi

Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, mengatakan KPK telah menginisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) sejak 2015. Salah satu sektor yang disasar yakni perbaikan tata kelola perkebunan sawit. Sektor sawit sangat strategis dan berkontribusi terhadap penerimaan negara.

Tercatat penerimaan pajak dari sektor sawit tahun 2015 mencapai Rp22,27 triliun, pungutan ekspor CPO dan produk turunannya tahun 2016 sebesar Rp11,7 triliun. Tapi pengembangan komoditas sawit ini tak lepas dari berbagai persoalan, seperti lingkungan hidup, penerimaan negara, dan korupsi.

Lili mencatat laporan Bank Dunia menyebut kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seluas 2,6 juta hektar pada tahun 2015 di Indonesia sebagaian besar berada di perkebunan sawit. Kerugian karhutla diperkirakan mencapai Rp221 triliun. Selain soal lingkungan, perkebunan sawit juga sering menimbulkan konflik sosial seperti sengketa lahan.

Kendati berkontribusi terhadap penerimaan negara, tapi Lili menghitung tingkat kepatuhan wajib pajak di sektor sawit tergolong rendah hanya 46,3 persen untuk kategori wajib pajak badan, dan 6,3 persen untuk wajib pajak perorangan. Sektor sawit juga rawan korupsi karena lemahnya mekanisme perizinan, pengawasan, dan pengendalian. “Banyak kasus korupsi terkait proses perizinan yang melibatkan kepala daerah,” ungkapnya.

Menurut Lili, sampai sekarang pemerintah belum membentuk tata kelola perkebunan sawit yang terintegrasi dari hulu sampai hilir yang memenuhi prinsip pembangunan berkelanjutan. Kajian KPK setidaknya menyoroti beberapa hal terkait tata kelola sawit, antara lain sistem pengendalian dan pengawasan tidak akuntabel; pungutan ekspor dan pajak tidak efektif. “KPK telah merekomendasikan sejumlah hal untuk pemerintah, misalnya melakukan rekonsiliasi izin usaha perkebunan dan kebijakan satu peta.”

Tags:

Berita Terkait