Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan Pekerja Migran Butuh Intervensi Pemerintah
Berita

Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan Pekerja Migran Butuh Intervensi Pemerintah

Indonesia-Arab Saudi perlu menjalin MoU yang memuat ketentuan teknis dalam perlindungan pekerja migran Indonesia, misalnya sidak langsung ke rumah majikan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Pemerintah Kritik Kebijakan Malaysia Soal Direct Hiring Buruh Migran).

JBM melihat pekerja migran Indonesia yang bekerja di Arab Saudi rawan mengalami pelanggaran HAM. Berbagai kasus yang sering dialami pekerja migran Indonesia di Arab Saudi seperti penganiayaan, upah tidak dibayar, pelecehan dan kekerasan seksual, serta kriminalisasi. Kondisi ini diperparah dengan adanya sistem khafallah yang menganggap pekerja sebagai property/barang milik majikan.

UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia mengatur 3 syarat yang harus ada di negara tujuan buruh migran. Pertama, mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing. Kedua, telah memiliki perjanjian tertulis antara pemerintah negara tujuan penempatan dan Pemerintah Republik Indonesia. Ketiga, memiliki sistem Jaminan Sosial dan/atau asuransi yang melindungi pekerja asing.

Advokat publik LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, mengatakan sistem khafallah di Arab Saudi perlu direformasi sehingga pekerja migran tidak lagi diposisikan sebagai budak perempuan (Haddamah/Ammat). Selaras itu pemerintah Arab Saudi harus mematuhi hukum internasional, salah satunya Konvensi Wina 1963.

Kepala Divisi Perlindungan Perempuan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya Solidaritas Perempuan, Risca Dwi Ambarsari, mengatakan dari pendampingan dan advokasi yang dilakukan organisasinya dapat disimpulkan perempuan yang bekerja di Arab Saudi sebagai pekerja migran sektor domestik merupakan korban perdagangan orang. Mayoritas pekerja migran perempuan itu mengalami beban kerja berlebih, jam kerja panjang, upah tidak dibayar, kekerasan fisik, psikis dan seksual serta kriminalisasi.

Menurut Risca salah satu penyebabnya yakni masih berlakunya budaya dan sistem hukum yang diskriminatif dan bias gender terhadap perempuan. “Ini menjauhkan Perempuan PRT Migran dari akses terhadap keadilan atas perlindungan hak sebagaimana yang dijamin dalam Konvensi Migran 1990,” ujarnya.

Risca menegaskan pemerintah berperan penting dalam melindungi pekerja migran di luar negeri sebagaimana amanat UU No. 18 Tahun 2017. Beleid yang disahkan Presiden Joko Widodo 22 November 2017 itu memperkuat peran atase ketenagakerjaan dalam rangka mempercepat pelayanan dan pengawasan kasus ketenagakerjaan yang dialami buruh migran.

Seknas JBM, Savitri Wisnuwardani, mendesak pemerintah untuk mempercepat terbitnya peraturan teknis UU No.18 Tahun 2017. Beberapa peraturan turunan yang penting dalam rangka melindungi buruh migran yakni pelatihan vokasi, kompensasi, rehabilitasi, dan pemulihan psikologis.

Selaras itu JBM mendorong pemerintah untuk melakukan 6 tindakan. Pertama, mengkaji ulang rencana uji coba penempatan 30 ribu pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi melalui sistem satu kanal (one channel). Kedua, melakukan upaya pembelaan hukum yang lebih maksimal bagi pekerja migran Indonesia yang terancam hukuman mati di berbagai negara. Ketiga, mencabut kebijakan hukuman mati di Indonesia karena melanggar HAM, terutama hak hidup.

Keempat, melaporkan ke PBB tentang pelanggaran Konvensi Wina Tahun 1963 dan tidak adanya perubahan sistem hukum (khafallah) yang bisa melindungi pekerja migran. Kelima, menyediakan pemulihan psikologis bagi keluarga pekerja migran Indonesia korban eksekusi mati. Keenam, mempercepat teritnya peraturan turunan UU No.18 Tahun 2017 untuk mewujudkan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia dan keluarganya sebelum 22 November 2019.

Tags:

Berita Terkait