Penyidik Kasus Korupsi Perlu Mendapat Insentif dari Aset yang Disita
Utama

Penyidik Kasus Korupsi Perlu Mendapat Insentif dari Aset yang Disita

Ada yang mengusulkan agar para penyidik tindak pidana korupsi yang berhasil melakukan asset tracing diberi premi sebesar 2,5 persen dari harta koruptor yang berhasil disita.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Penyidik Kasus Korupsi Perlu Mendapat Insentif dari Aset yang Disita
Hukumonline

 

Usulan itu mendapat sambutan positif dari Soehadibroto. Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) itu bahkan mengusulkan pemberian insentif atau premi sebesar 2,5 persen dari aset berhasil disita untuk menutupi kerugian negara. Ia mengingatkan bahwa pemberian insentif kepada pihak yang ‘membantu' pengungkapan tindak pidana korupsi bukan sesuatu yang haram.

 

Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2000 telah mengatur tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Bab III (pasal 7 – 11) PP ini tegas menyebutkan kemungkinan pemberian penghargaan kepada orang, organisasi masyarakat dan LSM. Penghargaan tersebut dapat berupa piagam atau premi.

 

Berdasarkan pasal 9 PP tadi, besarnya premi ditetapkan paling banyak 2 0/00 (dua permil) dari nilai kerugian keuangan negara yang dikembalikan. Premi itu diberikan setelah perkara korupsi yang dilaporkan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

 

Dalam sejarah peradilan Indonesia, jelas Soehadibroto, pemberian insentif atau premi juga pernah dikenal. Yaitu pada saat adanya peradilan tindak pidana ekonomi (UU Darurat No. 7 Tahun 1955 jo No. 8 Tahun 1958). Saat itu, bukan hanya penyidik yang mendapat bagian, tetapi juga hakim yang mengadili perkara tersebut.

 

Kesulitan

Dalam kasus tindak pidana korupsi, tugas penyidik bukan hanya membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi, tetapi juga berkewajiban melakukan upaya maksimal menyelamatkan kekayaan negara. Dalam menjalankan tugas itu, diakui Indarto, penyidik bisa saja mengalami kesulitan.

 

Selang waktu antara terjadinya perbuatan korupsi dengan terungkapnya perbuatan akan sangat menentukan jumlah aset yang bisa diselamatkan. Sebab, jika jangka waktunya lama, pelaku korupsi mungkin berdalih bahwa hasil perbuatan korupsi itu telah habis digunakan. Pelaku bukan saja pintar menyembunyikan aset, tetapi juga sering sudah mengalihkannya kepada orang lain.

 

Bahkan bukan mustahil sudah dipindahkan ke luar negeri sebagaimana dulu yang pernah terungkap dari kasus kaburnya Hendra Rahardja ke Australia. Oleh karena itu, menurut Indarto, perlu pemahaman yang lebih luas dari penyidik mengenai pola-pola pengalihan aset hasil tindak pidana korupsi.

Direktur III/Pidana Korupsi dan White Collar Crime Bareskrim Mabes Polri Brigjen Pol Indarto mengusulkan agar para penyidik kasus-kasus tindak pidana korupsi diberikan semacam insentif atau prosentase dari total hasil asset tracing.

 

Usulan tersebut disampaikan Indarto dalam sebuah diskusi mengenai perburuan aset koruptor di Jakarta, Kamis (20/1). Di satu sisi, kegiatan asset tracing memerlukan dukungan anggaran yang besar. Di sisi lain, asset tracing penting dilakukan dalam penyidikan tindak pidana korupsi karena akan meminimalkan kerugian negara.

 

Untuk memperoleh hasil yang optimal, perlu dinyatakan dalam Undang-Undang bahwa sekian persen dari total hasil kegiatan asset tracing, diberikan kepada penyidik, ujar jenderal polisi bintang satu ini.

 

Bahkan, pemberian insentif itu perlu diberikan bukan hanya kepada penyidik, melainkan juga kepada pihak-pihak yang berhasil menyelamatkan kerugian negara. Dalam melacak aset-aset pelaku tindak pidana korupsi, penyidik tetap harus berkoordinasi dengan pihak lain untuk memperoleh hasil yang maksimal.

Tags: