Peradi Bakal Beri Masukan Soal Pasal Contempt of Court
Berita

Peradi Bakal Beri Masukan Soal Pasal Contempt of Court

Peradi mengusulkan tidak perlu ada aturan pidana contempt of court dalam RKUHP ataupun UU tersendiri. Sebab, dalam UU Advokat sudah diatur fungsi pengawasan yang dilakukan Dewan Kehormatan dan memiliki kode etik sendiri.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Meski begitu, dia mengakui sebelum berlakunya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, hakim bisa memberi sanksi dan menindak advokat jika melanggar. Namun, sekarang tidak, karena advokat sudah memiliki Kode Etik sendiri dan Dewan Pengawas Advokat. (Baca Juga: Pentingnya UU Contempt Of Court untuk Lindungi Kehormatan Pengadilan)

 

Ketua DPN Peradi Fauzie Yusuf Hasibuan mengusulkan tidak perlu ada aturan pidana contempt of court dalam RKUHP ataupun UU tersendiri. Sebab, dalam UU Advokat sudah diatur fungsi pengawasan yang dilakukan Dewan Kehormatan dan memiliki kode etik tersendiri.

 

“Tidak perlu ada contempt of court dalam RKUHP, nanti interpretasinya bisa berbeda. UU Advokat sudah cukup. Jadi, advokat jangan dipersulit, terlalu membuat kecurigaan yang tidak tahu persoalannya apa,” kata dia.

 

Pasal 281 RKUHP mengatur tindak pidana terhadap proses peradilan diancam dengan pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. Tindakan yang termasuk dalam unsur delik pidana contempt of court ini ada tiga kategori. Pertama, setiap orang yang tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan. 

 

Kedua, setiap orang yang tidak hormat kepada hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam persidangan. Ketiga, setiap orang yang secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang di pengadilan. 

 

Pandangan senada sebelumnya disampaikan Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan. Dia menilai pasal contempt of court itu tidak sesuai dengan sistem hukum di Indonesia, seperti termuat dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Luhut berpendapat contempt of court tidak tepat diterapkan karena sistem kekuasaan hakim seperti termuat dalam UU No.48 Tahun 2009 yang bersifat absolut (mutlak).  

 

Hakim bisa menentukan fakta, menyimpulkan, dan menentukan hukuman. Karena itu, hakim di Indonesia bersifat aktif dalam menangani setiap perkara. Dalam konsep ini, tidak perlu lagi contempt of court untuk melindungi hakim. Sebab, melalui kekuasaannya itu, (secara otomatis) hakim bisa “mengusir” pihak-pihak yang merasa mengganggu jalannya persidangan. Kalaupun ada pihak yang menyerang hakim, maka bisa dikenakan pasal pidana lain, tapi bukan pasal contempt of court.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait