Peradi Terus Berikan Perhatian dalam Mendorong Upaya Pelindungan dari Predator Seksual
Pojok PERADI

Peradi Terus Berikan Perhatian dalam Mendorong Upaya Pelindungan dari Predator Seksual

2045 yang akan menjadi masa keemasan Indonesia hanya akan menjadi jargon kosong kalau hari ini negara, pemerintah, dan masyarakat tidak serius dalam menangani dan mencegah kekerasan seksual.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 5 Menit

Menurut Siti, dalam hal ini pemerintah berkomitmen melindungi segenap bangsa, misalnya dengan memberikan rekomendasi Komite CEDAW No. 35 yaitu perlindungan dan perhatian besar terhadap kasus kekerasan perempuan.

Pemaparan dilanjutkan oleh Komisioner Anggota Kejaksaan RI & Praktis, Apong Herlina, S.H., M.H. yang menjelaskan penangan perkara tindak pidana kekerasan seksual. Dalam hal ini, Kejaksaan RI mendukung program pemberantasan predator seksual melalui Putusan Hakim UU TPKS meliputi pasal 5 - 14 yang membahas tentang pelecehan seksual fisik/non fisik, pemaksaan kontrasepsi, sterilisasi, dan perkawinan, penyiksaan, eksploitasi, dan perbudakan seksual, dan terakhir kekerasan seksual berbasis elektronik.

Narasumber kedua, Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia, Dra. Reni Kusumawardhani, M.Psi. yang membahas tentang proteksi diri dari predator seksual. Prevensi ini dibagi menjadi 3 yaitu primer, sekunder, dan tersier. Prevensi primer meliputi sosialisasi terus menerus, menurunkan kerentanan menjadi korban, dan menekan risiko keberbahayaan menjadi pelaku. Prevensi sekunder menjelaskan tentang ketersediaan jaminan pelindungan, sistem hukum yang berperspektif gender, dan penegakan hukum TPKS. Terakhir, prevensi tersier meliputi pembinaan dan koreksi perilaku terpidana TPKS, serta memberikan hak informasi pada korban menjelang pelaku dibebaskan.

Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI), Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si. menguraikan upaya mencegah tindak kekerasan seksual dalam perspektif HAM. “Kekerasan seksual sudah mulai di dorong di PBB sebagai crimes against humanity. Kalau kita gagal mengadili pelakunya dan gagal memberikan rasa keadilan bagi korban, lalu korban melapor ke PBB maka siapa yang akan diadili di PBB? Yaitu negara melalui presiden. Karena ini merupakan persoalan HAM,” jelas Margaretha.

Ia juga menjelaskan hak korban kekerasan seksual menurut UU TPKS meliputi penanganan, pelindungan, pemulihan, dan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi difabel. Lantas pencegahan yang dapat dilaksanakan meliputi tindakan preventif seperti edukasi, kampanye, literasi dan tindakan represif yaitu pembentukan pos-pos (UPTD, PPA, Satgas PPKS), proses hukum bagi pelaku, dan rehabilitasi pelaku.

Pemaparan terakhir diberikan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sylvana Maria, M.Th. terkait kekerasan seksual terhadap anak sebagai masalah sistemik.

“Apa pun rencana pembangunan bangsa ini, apabila hari ini tidak menganggap serius pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual terhadap anak, maka sia-sialah semua rencana dan mimpi besar bangsa ini. 2045 yang akan menjadi masa keemasan Indonesia hanya akan menjadi jargon kosong kalau hari ini kita semuanegara, pemerintah, dan masyarakattidak serius dalam menangani dan mencegah kekerasan seksual,” pungkas Sylvana.

Hukumonline.comKetua Panitia, Susi Maryati, menyerahkan plakat penghargaan kepada narasumber. Foto: istimewa.

Acara ditutup dengan sesi tanya jawab dan penyerahan cendera mata bagi para narasumber. Dilanjut dengan doa penutup yang menjadi harapan besar baik eksekutif maupun para praktisi hukum dalam menjalankan pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi).

Tags: