Peradilan Etika Pemilu: Really? Seriously?
Kolom

Peradilan Etika Pemilu: Really? Seriously?

Perlu diadakan forum peradilan permanen untuk mengadili anggota KPU melalui lembaga ajudikasi formal yang dibentuk sesuai perintah konstitusi.

Bacaan 8 Menit
Peradilan Etika Pemilu: Really? Seriously?
Hukumonline

Ada fenomena yang menarik di dalam konteks pemilihan umum. Itu bermula tatkala lahirnya lembaga etika bagi Penyelenggara Pemilu (2008). Lembaga itu bernama Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Lembaga ini memiliki kekuatan ajudikasi bagi setiap aduan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

Hingga saat ini, walau ada polemik pasca pemberhentian anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejauh saya membaca beberapa sumber, pada umumnya menerima DKPP tanpa syarat. Pada umumnya, peradilan etik –dalam bidang pemilu– menjadi sesuatu yang niscaya. Kalau pun ada kritik terhadapnya, pada umumnya masih memiliki harapan ideal: menyempurnakan lembaga tersebut.

Artikel ini akan meninjau secara kritis beberapa prapaham, yang meragukan harapan untuk menyempurnakan lembaga tersebut. Ini karena ada beberapa sesat pikir (fallacy) berikut ini.

Baca juga:

KPU dan Anggota KPU: Subjek Hukum

Pertama-tama, kita harus menganalisis KPU secara doktrinal (ilmu hukum) sebagai subjek hukum. UU No. 7 Tahun 2017 menyatakan bahwa penyelenggara Pemilu “lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum … .” Ini artinya KPU adalah salah satu dari subjek hukum; penyelenggara Pemilu dalam Pemilihan Umum.

Sebagai sebuah subjek hukum, tentu saja bukan orang secara alamiah (naturlijk persoon). Tentu saja, ia adalah subjek buatan yang ditetapkan oleh hukum (rechtspersoon). Walau demikian, di dalam organ KPU tersebut, ada subjek hukum lainnya, yang memberikan status (hukum), dan itu disebut sebagai jabatan (Ambt). Di dalam organ KPU, ada ketua dan anggota-anggota, dan itu adalah representasi dari jabatan.

Subjek KPU dan jabatan-jabatan yang ada di dalam KPU dengan demikian lahir karena perintah –langsung atau tidak langsung– konstitusi. Kemudian, melalui undang-undanglah, mereka lahir. Konsekuensinya, mereka seyogianya tunduk kepada konstitusi dan undang-undang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait