Peradilan yang Adil Bagi Penyandang Difabel
Kolom

Peradilan yang Adil Bagi Penyandang Difabel

Harapan ke depannya, penyandang difabel akan memiliki kondisi setara tanpa adanya diskriminasi selama proses peradilan pidana.

Bacaan 2 Menit
Dio Ashar Wicaksana. Foto: Istimewa
Dio Ashar Wicaksana. Foto: Istimewa
Indonesia baru saja berhasil mengesahkan Undang-Undang (UU) Penyandang Disabilitas (UU No. 8/2016) pada awal tahun 2016 ini. Salah satu perubahan yang fundamental adalah mengubah perspektif disabilitas sebagai orang yang tidak cacat. Karena sebelumnya, masih banyak diskriminasi yang terjadi bagi penyandang disabilitas, salah satunya dalam penegakan hukum di Indonesia. Banyak proses penegakan hukum yang tidak diselesaikan karena minimnya pemahaman penegak hukum terhadap penyandang disabilitas. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas bagaimana penerapan peradilan yang adil bagi penyandang disabilitas, dan juga dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional pada 3 Desember yang lalu.

“Difabel bukan Disabel”
Pada tahun 2012 terdapat lebih dari 6 (enam) juta penyandang disabilitas di Indonesia (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2012). Dalam konteks ini, penyandang disabilitas dikaitkan terhadap orang yang mengalami hambatan baik secara mental ataupun fisik untuk berkomunikasi dan berpartisipasi secara aktif dengan “orang” lain. Akan tetapi, saat ini kalangan aktivis lebih memilih menggunakan kata “difabel” dibandingkan “disabilitas”, makna dari kata difabel adalah different able.

Penggunaan kata ini bertujuan untuk mengubah perspektif masyarakat bahwa penyandang difabel bukan lagi sebagai orang yang tidak dapat melakukan sesuatu seperti orang “normal” lainnya. Melainkan sebagai orang yang dapat melakukan sesuatu dengan kemampuan yang berbeda. Pemaknaan kara ini bukan hanya sekedar istilah, tetapi juga menghilangkan pemaknaan negatif dari pemaknaan “cacat” pada kelompok difabel.

Pada awalnya, pemaknaan difabel berasal dari pendekatan medis. Konsep ini menekankan kepada kondisi kesehatan dari penyandang difabel. Pada pendekatan ini, difabel dianggap sebagai kondisi yang tidak sehat, sehingga solusi dari pendekatan ini adalah rehabilitasi atau penyembuhan medis. Namun, pendekatan ini mendapatkan kritik dari kelompok difabel di United Kingdom (1970).

Mereka berpendapat bahwa hambatan dari penyandang difabel bukanlah karena keterbatasan kondisi fisik mereka, melainkan karena sosial, budaya dan lingkungan membatasi mereka untuk berpartisipasi. Seperti contoh penyandang difabel yang berjalan dengan kursi roda, bukan berarti dia tidak bisa berjalan, melainkan karena sosial masyarakat tidak memberikan akses fasilitas yang memadai terhadap mereka. Sehingga perspektif ini lebih menekankan aspek sosial dan hak asasi manusia terhadap penyandang difabel.

Penyandang Difabel pada Sistem Peradilan Pidana
Penyandang difabel memiliki potensi menjadi korban kejahatan sebanyak 4-10 lebih banyak dibandingkan orang yang dianggap “normal” (Hartwell, 1994). Pada sistem peradilan pidana, seringkali penyandang difabel menemukan diskriminasi oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Pusham UII (2015) mencatat ada beberapa kasus yang melibatkan penyandang difabel mental tidak diselesaikan oleh penyidik. Alasan utamanya karena sulitnya komunikasi antara penyidik dengan penyandang difabel.

Contoh lainnya, seringkali keterangan korban difabel yang buta dan tuli tidak dianggap sebagai keterangan alat bukti yang sah, karena terdapat interpretasi dalam di dalam peraturan hukum pidana Indonesia (KUHP). Pada peraturan tersebut dikatakan keterangan saksi yang sah adalah pihak yang melihat, mendengar, atau mengalami secara langsung suatu peristiwa pidana. Sehingga sangat sulit bagi korban yang buta dan tuli untuk melaporkan peristiwa yang menimpa mereka.

Selain itu, permasalahan terus berlanjut hingga tahap pemeriksaan di ruang sidang. Tercatat masih terdapat 82% perkara kekerasan seksual pada difabel, yang tidak menghadirkan keterangan ahli selama proses persidangan berlangsung (MaPPI-FHUI,2015). Keterangan ahli sangatlah penting terutama untuk memastikan kondisi fisik dan mental penyandang difabel, sehingga Hakim selama memimpin persidangan dapat menyediakan aksesibilitas sesuai dengan kondisi korban.

Berdasarkan permasalahan tersebut perlu adanya perubahan pemahaman terhadap penyandang difabel dalam proses peradilan pidana. Pertama, perlu adanya perubahan makna secara legal dari kata “disabilitas” menjadi “difabel”. Perubahan ini bukan hanya untuk sekedar pengucapan, melainkan juga untuk mengajak semua pihak untuk mengubah perspektif pemaknaan “cacat” pada penyandang difabel, dan melihat bahwa penyandang difabel dengan kondisi yang setara.

Selanjutnya, Pemerintah perlu untuk membuat peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Penyandang Disabilitas. Seperti yang disebutkan sebelumnya, peraturan pidana Indonesia belum mampu mengakomodasi keterangan penyandang difabel sebagai alat bukti yang sah, sehingga perlu ada peraturan yang secara jelas untuk mengubah pemahaman dan sensitifitas penegak hukum dalam memeriksa penyandang difabel. Selain itu, peraturan tersebut juga perlu mengatur aksesibilitas baik dari segi fasilitas mauapun pemahaman aparat penegak hukum terhadap penyandang difabel.

Kemudian, kebijakan yang sudah dibuat perlu dilakukan pengawasan dan evaluasi apakah kebijakan tersebut terimplementasikan dengan baik atau tidak. Kerja sama dengan masyarakat sipil bisa menjadi salah satu solusi, karena di beberapa daerah peran masyarakat sipil terbukti efektif dalam memberikan pemahaman mengenai isu difabel, seperti desa inklusif di Yogyakarta yang diinisiasikan oleh Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB).

Harapan ke depannya, penyandang difabel akan memiliki kondisi setara tanpa adanya diskriminasi selama proses peradilan pidana.

*) Dio Ashar Wicaksana, Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI)
Tags: