Peran Lembaga Khusus Demi Kepastian Hukum Pasca Pengesahan UU PDP
Kolom

Peran Lembaga Khusus Demi Kepastian Hukum Pasca Pengesahan UU PDP

Khususnya terkait pengenaan ganti rugi akibat penyalahgunaan data pribadi.

Bacaan 4 Menit
Wulan Fitriana. Foto: Istimewa
Wulan Fitriana. Foto: Istimewa

Filosofis diundangkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), merupakan bentuk peran negara dalam memberikan jaminan salah satu hak asasi manusia yang telah dijamin dalam konstitusi Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yakni untuk memberikan keamanan atas data pribadi, untuk menjamin setiap hak warga negaranya atas pentingnya pelindungan diri pribadi. Selain itu juga perlu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk meningkatkan efektivitas dalam pelaksanaan pelindungan data pribadi.

Lahirnya UU PDP juga merupakan bentuk dari upaya pemerintah dalam memberikan payung hukum atas maraknya kasus cyber attack yang akhir-akhir ini marak terjadi berupa kebocoran data atau penyalahgunaan data pribadi. Seperti kita ketahui pencurian data pribadi yang sering kali terjadi di antaranya penyalahgunaan identitas untuk pinjaman online (Pinjol), registrasi sim card, pencurian uang seperti yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab seperti cyber attack.

Pasal 12 UU PDP mengatur ketentuan mengenai pelanggaran pemrosesan data pribadi dan tata cara pengenaan ganti rugi. Kemudian, penilaian ganti kerugian diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UU PDP yang isinya, Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian dampak Pelindungan Data Pribadi diatur dalam Peraturan Pemerintah.”

Ketentuan mengenai penilaian dampak pelindungan data pribadi di Indonesia dapat dikatakan masih abstrak karena masih diperlukan suatu peraturan turunan yaitu Peraturan Pemerintah yang hingga saat ini belum terbit. Dalam peraturan turunan tersebut sebaiknya perlu diatur adanya lembaga tersendiri secara khusus untuk menghitung biaya atas kerugian atau dampak dari penyalahgunaan data pribadi.

Baca juga:

Dalam kasus sehari-hari masih banyak pihak yang menjadi korban atas penyalahgunaan data pribadi namun tidak banyak yang mendapatkan upaya penyelesaian dengan baik. Hal ini dikarenakan sebagian orang yang menjadi korban tidak mengetahui langkah atau upaya hukum yang seharusnya dilakukan bahkan tidak sedikit masyarakat yang telah melakukan pelaporan kepada pihak terkait yaitu OJK dan aparat penegak hukum memperoleh penyelesaian yang optimal, seperti yang dirasakan Ibu Irani Utami. Contoh kasus tersebut merupakan representasi kurang optimalnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai bagaimana seharusnya dalam mengambil upaya hukum ketika masyarakat dirugikan atas penyalahgunaan data pribadi.

Sebagai perbandingan, di Inggris telah memiliki beberapa peraturan yang dapat dikatakan sudah komprehensif dalam pengaturan perlindungan data pribadi. Pengaturan perlindungan data pribadi tersebut termuat di dalam Data Prtotection Act 2018. Aturan tersebut disahkan sebagai pengganti dari peraturan yang telah ada sebelumnya yakni Data Protection Act 1998.

Tags:

Berita Terkait