Peran Pengadilan Agama dalam Perlindungan Hak Anak Melalui Pengakuan Anak
Kolom

Peran Pengadilan Agama dalam Perlindungan Hak Anak Melalui Pengakuan Anak

Sudah saatnya bagi pengadilan agama untuk meningkatkan peran dalam perlindungan hak-hak anak melalui pengakuan anak, karena tidak jarang perkara pengakuan anak pasangan muslim justru diajukan melalui pengadilan negeri.

Bacaan 5 Menit
Muhammad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa
Muhammad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa

Kewenangan pengadilan agama terkait pengakuan anak dirumuskan dalam nomenklatur “penetapan asal-usul anak,” sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 49 ayat 2 angka 20 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Rumusan yang demikian tampak berimplikasi kepada kewenangan yang berbeda terhadap kewenangan pengadilan negeri yang mencakup pengesahan dan pengakuan anak yang lahir sebelum perkawinan. Penetapan pengadilan tentang asal-usul anak diperlukan dalam hal akta kelahiran atau bukti lain sebagai bukti asal-usul anak tidak ada, seperti disebutkan dalam Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam.

Akan tetapi, ketiadaan akta kelahiran sangat terkait dengan Pejabat Pencatatan Sipil untuk mencatat seorang anak pada register akta kelahiran sebagai anak sah. Anak sah akan dicatat sebagai anak dari seorang ayah dan seorang ibu, sementara anak tidak sah akan dicatat sebagai anak dari seorang ibu.

Pasal 42 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendefinisikan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dalam hal ini, bagi pasangan muslim yang menginginkan anak mereka yang dilahirkan di luar perkawinan, yang mencakup anak yang dilahirkan sebelum perkawinan atau dilahirkan dalam perkawinan tidak tercatat, dicatat sebagai anak dari kedua ayah dan ibu, mereka dapat mengajukan permohonan penetapan asal-usul anak kepada pengadilan agama. Pada poin ini, apa yang dicari oleh pasangan secara substantif terkait dengan pengakuan anak, meskipun istilah penetapan asal-usul anak yang digunakan dalam kewenangan pengadilan agama.

Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur tentang pengakuan anak. Pengakuan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 49 ayat 2 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara.

Baca juga:

Ketentuan yang demikian merupakan bentuk kompromi hukum yang mencakup hukum Islam, hukum adat, dan hukum perdata Barat bahwa pengakuan anak dilarang bagi anak yang berasal dari perzinaan dalam mana ibu sang anak masih terikat hubungan perkawinan dengan orang lain sehingga ibu tersebut tidak dapat menikah dengan pasangannya. Bagaimanapun, regulasi yang demikian telah mengakibatkan pengurangan hak-hak anak yang dilahirkan sebelum perkawinan meskipun sang ibu bukan seorang perempuan yang terikat perkawinan sehingga anak yang dilahirkan tidak dapat dilakukan pengakuan oleh sang ayah.

Dalam fikih (Islamic jurisprudence), pengakuan atau istilhaq adalah cara lain untuk menetapkan hubungan nasab antara seorang anak dan ayah selain perkawinan, yang berimplikasi pada pengesahan anak. Pengesahan anak, pada gilirannya, adalah akibat dari pengakuan anak. Akan tetapi, terdapat perbedaan di kalangan ulama fikih dalam hal pengakuan anak luar kawin. Mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa anak luar kawin tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya.

Tags:

Berita Terkait