Peraturan Kapolri Tentang Demonstrasi Dinilai Bertentangan dengan UU
Berita

Peraturan Kapolri Tentang Demonstrasi Dinilai Bertentangan dengan UU

Dalam Perkap Nomor 9 Tahun 2008 justru membatasi waktu pelaksanaan aksi, sedangkan UU No. 9 Tahun 1998 memungkinkan aksi dilakukan hingga malam hari asalkan sebelumnya dilakukan koordinasi antara Polri dengan penanggung jawab aksi.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi
Kasus kriminalisasi yang menimpa dua Pengacara Publik di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Tigor Gempita Hutapea dan Obed Sakti Andre Dominika serta seorang mahasiswa FISIP Universitas Mulawarman, Hasyim Ilyas Riciyat Nor cukup menjadi perhatian. Pasalnya, mereka telah diseret ke meja hijau karena diduga tidak patuh pada perintah aparat kepolisian ketika mendampingi buruh dalam aksi di depan istana negara pada akhir Oktober tahun 2015 silam.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah sebetulnya cara yang benar dalam melakukan aksi? Meski begitu setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 serta sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya. Bentuk kegiatan penyampaian pendapat di muka umum sendiri cukup beragam. Umumnya, dilakukan dengan bentuk unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, serta mimbar bebas.

Walau berhak, akan tetapi pelaksanaan ‘aksi’ tak semerta-merta tanpa aturan. Pasalnya, tak jarang juga aksi yang akhirnya berujung ricuh. Untuk mengatasi hal itu, UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberi wewenang kepada Polri untuk menjadi penanggungjawab sekaligus memberikan perlindungan keamanan terhadap peserta aksi.

Secara teknis, juga telah diterbitkan aturan bagi internal Polri dalam hal mengamankan aksi, yakni dalam Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Aturan itu mengatur bagaimana aksi yang tidak melanggar ketentuan perundang-undang, mulai dari segi tata cara, waktu dan tempat pelaksanaan, hingga mekanisme penindakan.

Terkait dengan tata cara, ada sejumlah hal penting yang mesti diperhatikan khususnya terkait dengan bentuk aksi ketika kegiatan itu dilangsungkan. Pasal 12 Perkap Nomor 9 Tahun 2008 merinci cara-cara yang dilarang ketika menyampaikan pendapat di muka umum. Pada prinsipnya, cara-cara yang dilarang saat melakukan aksi, antara lain melakukan perusakan, pembakaran, serta meledakan benda dan bangunan, membawa benda-benda yang membahayakan serta melakukan provokasi untuk melakukan tindakan jahat, kekerasan, serta ujaran kebencian.

Terlepas dari hal itu, mesti diingat bahwa penyampaian pendapat di muka umum wajib terlebih dahulu sebelumnya diberitahukan ke kepolisian setempat. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 7 huruf a Perkap Nomor 9 Tahun 2008 dimana pemberitahuan itu wajib dilakukan secara tertulis kepada pejabat kepolisian dimana kegiatan tersebut dilaksanakan paling lambat 3x24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. jika ada perubahan rencana, paling tidak 1x24 jam sebelum pelaksanaan wajib memberitahukan kepada aparat yang bersangkutan.

Kemudian, terkait dengan waktu pelaksanaan juga diatur sejumlah larangan ketika melakukan aksi. Waktu yang dilarang, yakni pada waktu hari besar nasional, yakni tahun baru, hari raya keagamaan, hari kemerdekaan 17 Agustus, serta hari besar lain yang ditentukan oleh Pemerintah. Selain itu, Pasal 6 ayat (2) Perkap Nomor 9 Tahun 2008 juga diatur batasan waktu yang dibolehkan, yakni antara pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore untuk tempat terbuka. Sementara di tempat tertutup antara pukul 6 pagi hingga pukul 10 malam.

Selanjutnya dari segi tempat, juga terdapat beberapa hal yang mesti diperhatikan berkaitan dengan tempat yang akan dijadikan lokasi untuk melakukan aksi. Tempat ibadah, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, serta terminal angkutan darat dilarang dijadikan tempat penyampaian aksi. Tak hanya itu, Pasal 10 Perkap Nomor 9 Tahun 2008 juga mengatur secara detil batasan-batasan jarak di sejumlah tempat strategis.

Misalnya, aksi di lingkungan istana kepresidenan, baik presiden dan wakil presiden dilarang dilakukan dalam radius kurang dari 100 meter dari pagar luar. Lalu, untuk objek-objek vital nasional dilarang dalam radius kurang dari 500 meter dari pagar luar. Kemudian di objek-objek vital nasional dilarang dalam radius kurang dari 500 meter dari pagar luar.

Setidaknya, jika hal-hal di atas telah dipenuhi dan dipatuhi mestinya pelaksanaan kegiatan aksi berjalan dengan teratur dan ‘dikawal’ oleh aparat kepolisian sebagaimana mandat dari UU Nomor 9 Tahun 1998. Sebaliknya, jika sejumlah hal itu dilanggar, berdasarkan ketentuan UU Nomor 9 Tahun 1998 dan Perkap Nomor 9 Tahun 2008, Polri berwenang melakukan sejumlah tindakan dalam rangka menertibkan.

Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan oleh Polri, yakni upaya persuasif, peringatan terhadap peserta yang melanggar, pemberian peringatan kepada penanggung jawab pelaksanaan, penghentian kegiatan, hingga pembubaran masa. Bahkan, bila diperlukan Pasal 14 ayat (3) huruf e memberi wewenang kepada Polri untuk melakukan penangkapan pelaku pelanggar hukum serta melakukan penahanan.

Selain itu, jika dalam hal penindakan tidak dapat dilakukan seketika, Polri juga berhak melakukan tindakan penegakan hukum setelah situasi memungkinkan dengan pertimbangan akan terjadi kerusuhan yang lebih luas lagi atau kebrutalan masa. lebih lanjut, terkait dengan penyidikan perkara penyampaian pendapat di muka umum. Dilakukan dengan prosedur, penindakan tilang, tindak pidana ringan, penyidikan perkara cepat, penyidikan perkara biasa dengan berpedoman pada KUHAP dan ketentuan pelaksanaannya.

Dimintai tanggapannya, pengacara publik di LBH Jakarta Handika Febrian menilai ada pertentangan antara Perkap Nomor 9 Tahun 2008 dengan UU Nomor 9 Tahun 1998. Selain karena Perkap itu berlaku dan mengikat ke internal Polri, Handika melihat ada hal yang hal yang diatur dalam undang-undang namun justru dibatasi oleh Perkap tersebut.

“Kita melihat Perkap itu bertentangan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998. Jadi Perkap itu yang tidak ada dalam struktur peraturan perundang-undangan melampaui undang-undang,” ujar Handika yang juga tim kuasa hukum dalam kasus Tigor dan Obed, Rabu (30/3).

Dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf b UU Nomor 9 Tahun 1998 disebutkan bahwa pelaksanaan dimungkinkan dilakukan pada malam hari asalkan sebelumnya dilakukan koordinasi antara Polri dengan penanggung jawab aksi. Sayangnya, kata Handika, Pasal 6 ayat (2) Perkap Nomor 9 Tahun 2008 justru membatasi waktu pelaksanaan aksi.

“Itu menurut kami bermasalah karena di undang-undang tidak ada. Sedangkan batasan kebebasan berekspresi harus dimuat di undang-undang bukan Perkap. Di UU Nomor 9 Tahun 1998 ngga ada pembatasan bahkan disana boleh melakukan aksi pada malam hari dalam penjelasannya itu ada. koordinator aksi melakukan koordinasi dulu sebelumnya dengan Kepolisian,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait