Perbaiki Tata Kelola Royalti Lagu dan Musik Perlu Refleksikan Kepentingan 3 Pihak
Terbaru

Perbaiki Tata Kelola Royalti Lagu dan Musik Perlu Refleksikan Kepentingan 3 Pihak

Kepentingan pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Bila kamar hotel mencapai 25 kamar maka pertahun pengusaha hotel di India akan dikenakan beban royalty sebesar (Rp438 x 365 hari x 25 kamar = Rp3.996.750. Sementara di Indonesia, untuk tarif royalti lagu dan/atau musik bagi hotel dengan jumlah kamar 1 s/d 50 kamar tarif royaltinya hanya Rp2.000.000/pertahun.

Pemerintah melalui PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, memberikan penguatan kepada LMKN untuk melakukan pemungutan royalti. Penegasan adanya kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu dan/atau musik secara komersial dan ataupun pada layanan publik.

Royalti yang ditarik dari pengguna komersial ini akan dibayarkan kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan Pemilik Hak Terkait lagu dan/atau musik melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). “PP 56/2021 bertujuan untuk mendukung ekosistem dunia kreatif (lagu dan/atau musik) yakni dengan kewajiban membayar royalti. Tarif royalti lagu dan/atau musik di Indonesia tergolong tarif royalti yang sangat rendah bila dibandingkan dengan negara lain,” jelas Rapin.

Berkembangnya dunia digital khusus di bidang musik tentunya membawa dampak yang sangat luar biasa, khususnya bagi ekosistem royalti dan industri lagu dan/atau musik pada umumnya. Etalase musik digital seperti Youtube, Spotify, iTunes, Audiomax, Pandora dan lainnya merupakan platform digital yang seharusnya menjadi potensi dalam perolehan hak cipta atas karya lagu dan/atau musik.

Berkenaan dengan hal tersebut, ujar Rapin, LMKN akan mengambil inisiatif dalam hal penetapan tarif digital dan pengumpulan royalti agar terjadi peningkatan pendapatan royalti pada akhir tahun 2021. “LMKN sangat memerlukan dukungan bersama dari seluruh pihak agar kegiatan pengumpulan dan pendistribusian dapat berjalan berdasarkan prinsip-prinsip yang benar dalam pengelolaan (manajemen) royalti lagu dan/atau music,” pungkas Rapin.

Sebelumnya, Kaprodi Magister dan Doktor Hukum Universitas Pelita Harapan sekaligus Ketua Pengawas Sentra Lisensi Musik Indonesia, Henry Soelistyo, mengatakan PP No. 56 Tahun 2021 merupakan langkah progresif dalam industri musik terutama dalam hal pengelolaan royalti. Meski menyambut baik terbitnya PP tersebut, Henry menilai PP ini eksklusif dan berpotensi memunculkan kebijakan yang diskriminatif.

Sebab, PP ini hanya mengatur tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik, khususnya performing rights. Dia berpendapat performing rights seharusnya tak hanya untuk ciptaan berupa lagu dan/atau musik saja, tapi juga untuk tari. Jika yang diatur hanya hak cipta lagu dan/atau musik seharusnya bisa dituangkan aturannya dalam bentuk yang lebih teknis, seperti Peraturan Menteri.

Menurutnya, beleid ini merupakan peraturan tertinggi yang diterbitkan pemerintah tanpa melibatkan legislatif, seharusnya yang diatur sifatnya lebih luas. “Ada diskriminasi kebijakan, pengabaian oleh pemerintah. Padahal prinsipnya jika yang satu diperhatikan maka lainnya jangan diabaikan,” kata Henry dalam webinar “Diskusi Artis & Akademisi Menyikapi Royalti Musik Dalam Perspektif Musisi dan Akademisi: Implementasi PP No.56 Tahun 2021”, Kamis (15/4).

Tags:

Berita Terkait