Perempuan Ingin Rombak Hukum Adat Patriarki Pelan-Pelan
Laporan dari Tobelo:

Perempuan Ingin Rombak Hukum Adat Patriarki Pelan-Pelan

Bahas hak perempuan dalam waris. Perempuan adat Bali merasa merasa tak dilibatkan.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit

"Perubahan itu harus pelan-pelan. Kita tak bisa mengubah tatanan adat yang sudah ada. Bentengnya sangat kuat," tegasnya.

Lalu, bagaimana dengan hukum adat yang 'asli'? Bukankah merombak tatanan adat meski dengan cara pelan-pelan bisa menghilangkan 'keaslian' hukum adat itu sendiri?

Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN Abdon Nababan budaya patriarki merupakan nilai feodal yang masuk dari luar. Ia menilai budaya patriarki bukan asli dari adat istiadat nusantara. "Itu nilai-nilai dari kerajaan dan kraton," ujarnya.

Abdon mengatakan AMAN tak membela adat secara membabi buta, tetapi membela adat dalam konteks hak asasi manusia (HAM). "Tak boleh masyarakat melanggar HAM," tegasnya.

Bali tak diundang

Ketua Majelis Madya Desa Pakraman Kabupaten Buleleng, Bali, Made Rimbawa mengatakan hukum adat Bali mempunyai sistim sendiri termasuk dari segi hukum waris. "Kami menganut sistem patrilineal. Ini menyangkut adat, agama dan pura kami. Kalau anak perempuan diberikan hak waris, dia bisa keluar dari agama dan budayanya," jelasnya.

Meski tak mempunyai hak waris, lanjutnya, perempuan Bali juga tetap dilindungi. Ia mengatakan perempuan Bali berhak mendapat bawaan atau bebaktaan dari hasil jering payah orangtua. Pemberian bebaktaan ini dilakukan atas persetujuan saudara si perempuan yang laki-laki. "Itu jalan keluarnya. Biasanya, besarannya 2:1 dari waris anak laki-laki," jelasnya.

Ia berharap budaya dan hukum adat Bali ini tak perlu diubah. "Budaya patrilineal kami kuat. Ini kan sekaligus menunjukan budaya Indonesia itu Bhineka Tunggal Ika, tak bisa disamakan," jelasnya lagi.

Tags: