Direktur Ekeskutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Astriyani Achmad menyebutkan bahwa korupsi yang melibatkan oknum peradilan kebanyakan masuk kategori korupsi sistemik. Korupsi ini memiliki modus yang lebih rumit lantaran melibatkan beberapa pihak terutama pemegang jabatan atau pengambil kebijakan di MA.
Mesti dicatat, korupsi sistemik acapkali menggunakan kelemahan sistem, seperti birokrasi sebagai peluang untuk memperoleh keuntungan dengan cara yang tidak benar atau melawan hukum. “Masalahnya tidak sesederhana soal pengawasan. Itu ngga cukup dengan pengawasan,” tegas Aci, sapaan akrab Astriyani di kantornya, Jumat (24/6)
Situasi organisasi pada internal MA yang masih memberi ‘ruang’ bagi oknum untuk menguntungkan kocek pribadi dipastikan tidak sepenuhnya disebabkan oleh persoalan pengawasan yang lemah. Dari penelitian yang dilakukan oleh LeIP, ternyata penyebab korupsi di pengadilan justru karena pergeseran fungsi kasasi di MA yang tidak sesuai dengan konsep dasarnya di negara asalnya.
Fungsi kasasi di negara asalnya, seperti Belanda ternyata hanya untuk melihat apakah pengadilan (judex facti) telah menerapkan hukum dengan benar atau tidak dan melihat apakah cara mengadilinya telah sesuai hukum acara atau tidak. Jika tidak sesuai, maka pengadilan kasasi akan memerintahkan pengadilan negeri (PN) atau pengadilan tinggi (PT) untuk memutus ulang.
Sehingga, sistem kasasi yang demikian tidak menentukan pihak yang ‘menang atau kalah’ maupun menentukan hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa atau tergugat. “Fungsi tersebut (menentukan pihak menang/kalah) ada pada pengadilan fakta, dimana pengadilan tertingginya adalah pengadilan tinggi. Nasib akhir pihak berperkara ada di PT,” sebut Aci.
Sementara fungsi kasasi di Indonesia, kata Aci, telah bergeser dimana kasasi pada MA menentukan siapa pihak yang menang atau kalah serta menentukan hukuman. Di sini, MA seolah-olah menjadi ‘pengadilan tinggi kedua’ yang memiliki peran sebagai judex facti bukan judex jurist. Padahal, fungsi kasasi secara umum untuk mengawasi penerapan hukum pengadilan (judex facti) yang mana merupakan kunci untuk mencegah terjadinya praktik korupsi di tingkat bawah.
Lebih lanjut, Aci menegaskan bahwa korupsi di pengadilan sejatinya merupakan ‘ujung’ dari korupsi dalam proses peradilan yang lebih umum. Di mana, praktik suap atau korupsi telah terjadi mulai pada tahap penyelidikan hingga penuntutan yang melibatkan polisi, jaksa, advokat, panitera, hakim, hingga aparatur pada masing-masing institusi penegak hukum termasuk MA.
“Karena pergeseran fungsi kasasi sejak awal di MA, tapi yang kena getahnya adalah pengadilan,” tuturnya.
Fungsi kasasi harus dikembalikan pada tujuan awalnya, yakni menjaga kesatuan penerapan hukum dan pengembangan hukum. Dengan kata lain, putusan kasasi tidak lagi menjadi penentu akhir menang atau kalah para pihak melainkan menilai benar atau tidaknya penerapan hukum oleh judex facti. Jika judex facti salah dalam menerapkan hukum, maka putusan dikembalikan ke pengadilan tersebut dan diputus ulang.
Menurut Aci, yang mesti dilakukan adalah merevisi UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Setidaknya, mesti direvisi terkait fungsi kasasi pada MA terutama menegaskan pengadilan tinggi sebagai lembaga yang memutus ulang dan juga sebagai pengadilan tertinggi yang menentukan menang atau kalahnya pihak berperkara. “Jangka panjangnya, ubah fungsi kasasi di MA di peruban UU MA,” tukasnya.
Lantas, apa kaitan pergeseran fungsi kasasi pada MA terhadap ‘runtutan’ penangkapan terhadap aparatur pengadilan? Pergeseran fungsi kasasi ternyata membuat segala potensi permasalahan yang ada pada judex facti menjadi berkembang juga di MA.
Di tempat yang sama, Wakil Direktur Eksekutif LeIP, Arsil mengatakan bahwa bergesernya fungsi kasasi pada MA sebatas ‘penentu’ menang atau kalah bagi pihak berperkara menjadikan MA semakin rentan akan praktik suap-menyuap. Pasalnya, Arsil melihat bahwa bergesernya fungsi kasasi tersebut hanya akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu sebagai jalan mencari kemenangan dalam perkara tertentu. “MA menjadi magnet bagi pihak berperkara,” katanya.
Bergesernya fungsi kasasi mendorong pihak berperkara termasuk jaksa untuk mengajukan upaya hukum kasasi semata-mata untuk memenangkan perkara. Khusus bagi jaksa, pengajuan kasasi umumnya dilakukan untuk menurunkan atau menaikan vonis hukuman. Dari catatan LeIP tahun 2015, total rata-rata perkara yang diterima MA mencapai 12.764. Sementara, jumlah majelis hakim agung yang memeriksa kurang lebih 16 majelis hakim. Artinya, setiap satu majelis hakim agung memiliki beban perkara sekitar 769 perkara.
Dikatakan Arsil, tingginya arus perkara yang masuk ke MA mengakibatkan sulitnya mewujudkan konsistensi putusan. Sepanjang kasasi sebatas untuk menentukan menang atau kalah serta berat atau ringan hukuman, maka orientasi MA bukan lagi untuk mewujudkan keseragaman penerapan hukum (legal uniformity) dan pengembangan hukum (legal development). Sehingga, Arsil melihat hal tersebut bermuara pada inkonsistensi putusan dan membuka peluang yang besar untuk korupsi.
Apalagi, putusan yang dilakukan oleh majelis kasasi acapkali dipandang sebagai ‘produk’ dari tiga hakim agung dan bukan sebagai ‘produk’ hukum dari MA secara kelembagaan. Membandingkan penerapan kasasi di negara lain seperti di Perancis, Belanda atau negara Eropa yang lain, putusan diambil bukan oleh majelis melainkan dalam pleno pada sistem kamar. Dalam pleno putusan tersebut, semua hakim memutuskan perkara bersama-sama.
“Ini sulit korup karena diputus oleh pleno. Sulit sekali korupsi karena ada banyak hakim,” tutupnya.