Perhimpunan Pendidikan dan Guru Beberkan Kelemahan Substansi RUU Sisdiknas
Utama

Perhimpunan Pendidikan dan Guru Beberkan Kelemahan Substansi RUU Sisdiknas

Seperti adanya pasal yang tertukar antara konsep hak warga negara dengan kewajiban negara, berpotensi melahirkan kastanisasi sekolah, bisnis pendidikan, hingga menghilangkan kualifikasi akademik guru.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah bergerak cepat menyusun naskah akademik dan draf Revisi Undang-Undang (RUU) No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). RUU yang bakal diusulkan pemerintah masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2022 ini tengah disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Tapi, bagi sebagian kalangan pendidik RUU tersebut dinilai berpotensi melahirkan kastanisasi pendidikan, bisnis pendidikan, dan merendahkan martabat guru.

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim menilai RUU Sisdiknas lemah dari aspek formal (prosedural) dan materi muatan (substansi). Setidaknya P2G memiliki 10 catatan kritis konstruktif terhadap RUU Sisdiknas yang sedang digarap Kemendibudristek. Pertama, banyak pasal yang tertukar antara konsep “hak warga negara” dengan “kewajiban negara”. Misalnya, Pasal 12, terdapat ketentuan “masyarakat wajib” memberi dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, tentunya termasuk pembiayaan pendidikan di dalamnya. Padahal seharusnya masyarakat “berhak”.

Baginya, rumusan pasal tersebut berpotensi membuat pemerintah lepas tanggung jawab dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Ironisnya, pembiayaan pendidikan tersebut terbatas pada “pembiayaan dasar” semata. Itupun, hanya bagi sekolah dengan kriteria tertentu. Karenanya, Pasal 80 ayat (1) sampai dengan (3) berpotensi diskriminatif di sektor pendidikan. Padahal, prinsip penyelenggaraan pendidikan mengedepankan aspek berkeadilan, nondiskriminatif, dan inklusif.

“Tampak antar pasal bersifat kontradiktif,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Senin (14/3/2022).

Baca:

Kedua, Standar Nasional Pendidikan (SNP). Menurutnya, dasar argumentasi perubahan 8 SNP menjadi 3 SNP patut dipertanyakan. Sebab, landasan ilmiah perubahan menjadi 3 SNP dalam naskah akademik RUU Sisdiknas sangat lemah. Sebab, hanya mengacu pada satu riset yang amat terbatas oleh satu lembaga dan penelitian terbatas di 3 daerah yakni Bukittinggi, Way Kanan, dan Kebumen. Padahal, Indonesia memiliki 514 kota/kabupaten.

Ketiga, naskah akademik RUU Sisdiknas semestinya menjadi landasan ilmiah, komprehensif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurutnya dalam penjelasan tentang kurikulum dalam naskah akademik hanya mengurai kurikulum 2013. Tak satupun ditemukan uraian kurikulum prototipe dan kurikulum merdeka. Padahal kedua kurikulum tersebut sudah diimplementasikan.

Malahan Kemendikbudristek menargetkan pemberlakuannya di setiap sekolah secara nasional pada 2024. Baginya, naskah akademik dan materi draf RUU tidak berkorelasi dengan perubahan kurikulum. P2G melihat antara naskah akademik dan draf RUU amat membingungkan. Dia meminta agar mata pelajaran sejarah masuk dalam “muatan wajib” dan “mata pelajaran wajib” dalam struktur kurikulum nasional.

Tags:

Berita Terkait