Peringati Hari Tani Nasional, Koalisi Desak Pemerintah dan DPR Jalankan 6 Mandat Pembaruan Agraria
Terbaru

Peringati Hari Tani Nasional, Koalisi Desak Pemerintah dan DPR Jalankan 6 Mandat Pembaruan Agraria

UU No.5 Tahun 1960 dan TAP MPR No.IX Tahun 2001 wajib dijalankan serius oleh pemerintah dan DPR. Tapi yang terjadi sekarang pemerintah dan DPR malah fokus pada isu sektoral, sehingga ketimpangan penguasaan tanah semakin meningkat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika saat konferensi pers dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional Tahun 2022 di Jakarta, Senin (26/9/2022). Foto: ADY
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika saat konferensi pers dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional Tahun 2022 di Jakarta, Senin (26/9/2022). Foto: ADY

Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) akan memperingati puncak hari tani nasional (HTN) pada 27 September 2022 melalui demonstrasi di depan gedung DPR/MPR. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan HTN diperingati setiap 24 September. Tanggal tersebut adalah hari disahkannya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada 62 tahun silam.

Menurut Dewi, diundangkannya UU No.5 Tahun 1960 sebagai Hari Tani Nasional ditegaskan dalam Keputusan Presiden No.169 Tahun 1963 tentang Hari Tani. Sayangnya sampai saat ini belum ada pengakuan terhadap Hari Tani Nasional sebagaimana ditetapkan dalam Keppres tersebut. “Konstitusionalisme Agraria yang sudah dimandatkan (sejak diterbitkannya UU No.5 Tahun 1960) kepada pemerintah dan DPR ternyata tidak dijalankan,” kata Dewi saat konferensi pers dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional Tahun 2022 di Jakarta, Senin (26/9/2022).

Dewi juga menyebut pemerintah dan DPR belum melaksanakan arah kebijakan pembaruan agraria sebagaimana dimandatkan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Setidaknya ada 6 poin pembaruan agraria yang diatur dalam beleid tersebut. Pertama, mengkaji ulang berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini.

Kedua, melakukan penataan penggunaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Ketiga, menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

Keempat, menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini. Kelima, memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi.

Keenam, mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi. “Kami melihat selama ini 6 mandat tersebut tidak konsisten dijalankan pemerintah dan DPR. Justru yang terjadi malah inkonstitusionalitas,” ujar Dewi.

Dewi menyebut UU No.5 Tahun 1960 dan TAP MPR No.IX Tahun 2001 wajib dijalankan serius oleh pemerintah dan DPR. Tapi yang terjadi sekarang pemerintah dan DPR malah fokus pada isu sektoral, sehingga ketimpangan penguasaan tanah semakin meningkat. Begitu juga konflik agraria, kerusakan lingkungan hidup dan kemiskinan struktural.

Ia melihat konstitusionalisme agraria telah dikhianati melalui terbitnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Beleid itu melihat tanah dan sumber daya alam yang ada hanya sebatas komoditas. Akibatnya cita-cita kedaulatan dan kebangsaan Indonesia berubah dari kemakmuran untuk rakyat menjadi kemakmuran bagi investor dan elit politik.

Tags:

Berita Terkait