Perjanjian Timbal Balik atau Perjanjian Sepihak?
Surat Kuasa

Perjanjian Timbal Balik atau Perjanjian Sepihak?

Bila dikualifikasikan sebagai perjanjian sepihak, maka penerima kuasa tak perlu menandatangani surat kuasa. Bila sebagai perjanjian timbal-balik, maka penerima kuasa wajib menandatangani surat kuasa, sebagaimana perjanjian pada umumnya.

Oleh:
Ali/Rzk/NNC
Bacaan 2 Menit

 

Sayangnya, pihak MK seakan tak tertarik dengan perdebatan ini. Ketika diminta komentarnya seputar surat kuasa, Fadlil enggan berkomentar. Kalau masalah surat kuasa tanya ke hakim saja, ujarnya ketika ditemui usai bertemu dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Komentar Hakim Konstitusi Harjono pun hanya secuil. Kita nggak pernah ada masalah dengan surat kuasa kok, ujarnya, Kamis (8/5) di gedung MK.  

 

Mantan hakim agung M. Yahya Harahap menerangkan pada dasarnya surat kuasa memang perjanjian hukum sepihak. Surat kuasa masuk pada ranah perjanjian tertentu. Tapi kalau seandainya pun dituangkan dalam kesepakatan juga bisa, ujarnya. Penerapannya tak terlalu kaku, tambahnya melalui sambungan telepon, Kamis (8/5).

 

Persoalan lanjutannya, bila surat kuasa bisa dikualifikasikan sebagai kesepakatan atau perjanjian timbal-balik. Apakah pencabutan surat kuasa bisa dilakukan sepihak oleh pemberi kuasa? Atau harus melewati gugatan perdata seperti pembatalan perjanjian pada umumnya? 

 

Dalam konteks perjanjian timbal-balik, Pasal 1266 BW menyatakan pembatalan perjanjian dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, harus dimintakan kepada hakim. Prinsipnya, syarat batalnya suatu perjanjian dianggap selalu tercantum dalam perjanjian. Apabila tidak tercantum, maka hakim dengan leluasa berdasarkan keadaan, atas permintaan tergugat, memberikan jangka waktu untuk memenuhi kewajiban tapi tidak lebih dari satu bulan.

 

Makanya ada yang berpendapat secara strict atau kaku, kalau kuasa itu merupakan perjanjian sepihak, ujar Yahya. Orang yang berpendapat seperti ini mendasarkan pada Pasal 1813-1819 BW yang menyatakan kuasa bisa dicabut sepihak oleh si pemberi kuasa. Tetapi seandainya pun itu dibuat dan ditandatangani oleh penerima kuasa, pencabutan sepihak pada dasarnya tak bertentangan. Karena undang-undang sendiri mengatakan bisa dicabut secara sepihak, jelasnya.

 

Dalam surat kuasa, ungkap Yahya, disebutkan kewajiban-kewajiban yang bila tak dijalankan berarti wanprestasi. Jadi bisa dibatalkan. Oleh karena undang-undang sendiri yang menentukan bisa dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa, maka boleh-boleh saja dicabut, jelasnya. Tidak perlu lagi melewati proses gugat perdata, tambahnya.

 

Pasal 1814 BW menyatakan Si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: