Ketentuan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA). Dalam proses pemeriksaan Peninjauan Kembali, pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 265 ayat (2) KUHAP.
Dalam konteks pihak yang dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali sebagaimana yang disebutkan di atas, terpidana atau ahli waris yang dalam nomenklatur ini disebut sebagai pemohon, beberapa kali dibunyikan dalam ketentuan Pasal 265. Pemohon Peninjauan Kembali tidak hanya ikut hadir dalam proses pemeriksaan Peninjauan Kembali untuk menyampaikan pendapatnya, tapi juga menjadi salah satu pihak yang menandatangani berita acara pemeriksaan Peninjauan Kembali.
Pasal 264 ayat (1) KUHAP sendiri mengatur bahwa Pemohon dalam konteks permintaan Peninjauan Kembali adalah pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Hal ini menurut peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Arsil dalam artikel Catatan SEMA No. 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara Pidana, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Pemohon terbatas pada terpidana atau ahli warisnya.
Hal-hal ini menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Agung saat menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. Melalui SEMA ini Mahkamah Agung menegaskan bahwa permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung hanya dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau ahli warisnya.