Perlindungan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Daring Belum Efektif
Utama

Perlindungan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Daring Belum Efektif

Sanksi hukum terhadap pelanggaran Hak Cipta di media internet (Over The Top) belum diatur secara spesifik dalam Undang-Undang No.28/2014 tentang Hak Cipta.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Kemudian ada notice and take down oleh penyelenggara platform. Take down akan dilakukan jika pemegang Hak Cipta atau Hak Terkait memberitahu penyelenggara platform bahwa ada merchant yang menjual produk yang melanggar Hak Cipta. Dan penghapusan konten dan/atau penutupan toko (merchant) dilakukan dalam waktu 14 hari. Namun keseluruhan rangkaian hukum terkait hak cipta dinilai terlalu birokratis dan tidak efektif.

“Contoh: Tokopedia sepanjang tahun 2021 telah membantu 12.650 Brands/Principal, lebih dari 1,4 juta produk telah dihapus, dan lebih dari 25.000 toko ditutup. Tapi saya menilai agak birokratis jadi tidak bisa langsung ditindak, dan masalah toko yang ditutup mereka akan buka lagi dengan nama lain karena memang tidak bisa diambil tindakan pidana secara UU Hak Cipta,” kata Gunawan dalam webinar yang diselenggarakan DJKI Kemenkumham, Senin (27/6).

Sehingga penutupan konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik diharapkan dapat memberi solusi atas kekosongan hukum yang ada. Dan tindakan hukum terhadap pelanggaran Hak Cipta di Media Internet yang paling efektif saat ini adalah dengan cara notice and take down yang dilakukan oleh penyedia platform di marketplace.

Kemudian dalam hak cipta, biasanya pemegang hak cipta atau kuasanya harus mengisi formulir pemberitahuan dengan melampirkan bukti-bukti hak dan keabsahan pemegang hak jika berupa badan hukum. Dalam proses ini Gunawan mengingatkan para konsultan wajib mengingatkan klien untuk tidak membuat pengakuan palsu terkait kepemilikan merek.

“Ini harus diingatkan jangan ngarang dan mengaku-ngaku kalau memang ini bukan ciptaan dia. Ini penting jadi catatan karena selama ini sering tidak dilakukan. Konsultan KI harus memperingatkan ke klien dan membuat disclaimer. Kalau terjadi apa-apa terkait pernyataan itu bukan tanggung jawab konsultan,” tegasnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Prof. Rahmi Jened, menambahkan bahwa seyogianya pencatatan harus disertai assessment dan disclaimer dari Ditjen KI Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu dia juga mengingatkan bahwa peralihan hak cipta terutama yang didasarkan pada perjanjian tidak cukup tertulis saja, namun harus dengan Akta Notariil karena ada peralihan hak milik dan subyek hukum- fungsi pencatatan sebagai publisitas.

Sementara terkait penegakan hukum, Rahmi menyebut mediasi penal sebagaimana tercantum dalam Pasal 95 Ayat (4) UU No. 28/2014 dihapus karena telah menjadikan proses penegakan hukum berlarut-larut dan mediasi penal tidak diberlakukan untuk semua bidang HKI. Menurutnya hal ini akan menjadikan Indonesia sebagai IP heaven bagi para kriminal HKI, baik dari dalam atau luar negeri.

“Seyogianya dalam mencermati pelanggaran HKI secara umum atau pelanggaran merek secara khusus patut dipertimbangkan kronologis kasus tersebut dari catatan sejarahnya, sehingga akan dapat dilihat adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak utamanya dari si pelanggar,” pungkasnya. 

Tags:

Berita Terkait