Perlindungan Lingkungan Hidup dan SDA Diperkirakan Makin Suram
Utama

Perlindungan Lingkungan Hidup dan SDA Diperkirakan Makin Suram

Produk legislasi dan regulasi masih ada yang kontra produktif dengan perlindungan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (SDA) yang lebih melindungi kepentingan korporasi. Komitmen pemerintah menegakan hukum, melaksanakan dan mendorong eksekusi putusan pengadilan sangat lemah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

“Berbagai legislasi dan regulasi yang bermunculan sampai akhir masa jabatan pemerintahan Jokowi-JK harus dievaluasi kembali, terutama yang kontra produktif terhadap perlindungan lingkungan hidup dan SDA,” saran Henri.

 

Komitmen pemerintah untuk menjalankan putusan pengadilan dan mendorong dilaksanakannya eksekusi putusan pengadilan menurut Henri juga lemah. Misalnya, putusan pengadilan dalam kasus “Kendeng” di Jawa Tengah; putusan uji materi Perpres No.18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah; gugatan warga Palangkaraya terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015.

 

Berikutnya, izin lingkungan PLTUB Cirebon II; izin pembuangan limbah cair PT Kahatex di sungai Cikijing. Pemerintah cenderung tidak patuh atau berpura-pura patuh dengan cara “mengakali” ketimbang melakukan evaluasi menyeluruh. Bahkan, dalam kasus PLTU Cirebon, pemerintah menerbitkan PP No.13 Tahun 2017 untuk menyimpangi RTRW daerah atau RTDR melalui rekomendasi menteri.

 

Henri melihat pemerintah mengklaim telah melakukan penegakan hukum lingkungan hidup dalam kasus karhutla. Tak sedikit putusan pengadilan yang dimenangkan pemerintah, tapi kemenangan itu hanya diatas kertas karena eksekusi putusan tersebut belum dijalankan secara optimal.

 

Menurut Henri, penegakan hukum, termasuk eksekusinya merupakan salah satu cara untuk memberi efek jera terhadap pihak yang melanggar aturan lingkungan hidup. Padahal, pemerintah bisa melakukan banyak cara untuk mengeksekusi putusan itu, misalnya mengejar atau membekukan aset perusahaan. Seluruh lembaga pemerintahan seperti kepolisian, kejaksaan, OJK, Kementerian Hukum dan HAM, BKPM, dan lainnya bisa memberi dukungan agar eksekusi itu bisa terlaksana.

 

Deforestasi dan Perubahan Iklim

Ketua Tim Kampanye Hutan Green Peace Indonesia Arie Rompas mengatakan korporasi bertanggung jawab atas kerusakan hutan di Indonesia. Melansir data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan periode 1995-2015 sekitar 24 juta hektar hutan hujan di Indonesia hancur. Periode 2015-2017 sebanyak 19 persen deforestasi terjadi pada konsesi perkebunan sawit. Perusakan hutan hujan ini menempatkan Indonesia menjadi salah satu penghasil emisi global terbesar setelah Amerika Serikat dan China.

 

Fakta itu diperkuat temuan Green Peace tahun 2015-2018 dimana sejumlah perusahaan pemasok minyak sawit menghancurkan area hutan dua kali ukuran Singapura. Kebijakan yang diterbitkan pemerintah untuk menahan laju deforestasi seperti Inpres No.5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut ternyata belum optimal. Inpres yang diterbitkan pertama kali tahun 2011 ini masih memiliki celah, sehingga tidak memberikan perlindungan hutan dan lahan gambut untuk jangka panjang.

Tags:

Berita Terkait