Perlindungan Lingkungan Hidup dan SDA Diperkirakan Makin Suram
Utama

Perlindungan Lingkungan Hidup dan SDA Diperkirakan Makin Suram

Produk legislasi dan regulasi masih ada yang kontra produktif dengan perlindungan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (SDA) yang lebih melindungi kepentingan korporasi. Komitmen pemerintah menegakan hukum, melaksanakan dan mendorong eksekusi putusan pengadilan sangat lemah.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Alih-alih menekan deforestasi, Arie justru mencatat faktanya pembabatan hutan dan lahan semakin meningkat. Hasil analisis Green Peace menunjukan sepertiga area yang terbakar pada periode 2015-2018 berada di kawasan moratorium (sterilisasi lahan). Jangka waktu 2005-2011 saat belum dilakukan moratorium total deforestasi sekitar 800 ribu hektar, 7 tahun setelah moratorium (2012-2018) total deforestasi 1,2 juta hektar.

 

Selama pelaksanaan moratorium itu setiap 6 bulan pemerintah melakukan revisi terhadap area yang dimoratorium. Dalam revisi itu banyak hutan dan lahan gambut yang kaya karbon malah dihapus dari peta moratorium. Beberapa lahan yang dihapus itu diberikan izin untuk perkebunan kelapa sawit dan bubur kertas (pulp), penebangan hutan dan pertambangan. Dalam 5 tahun ke depan Indonesia masih menghadapi masalah deforestasi.

 

“Presiden Jokowi menyatakan Inpres moratorium ini bersifat permanen, tapi masih ada hutan dan lahan gambut yang belum masuk area moratorium, sehingga deforestasi masih terus terjadi,” ungkap Arie.

 

Persoalan deforestasi diperparah dengan lemahnya penegakan hukum, pelaksanaan dan eksekusi terhadap putusan pengadilan. Pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN membuat situasi semakin sulit karena tidak mau membuka informasi pemegang HGU. Padahal sudah diperintahkan MA melalui putusannya. Perlindungan terhadap hutan dan lahan gambut semakin suram karena pemerintah berencana untuk merevisi lebih dari 70 regulasi dalam rangka percepatan masuknya investasi atau dikenal dengan istilah omnibus law.

 

“Kebijakan ini dalam 5 tahun ke depan akan memperluas penghancuran hutan, perampasan lahan, dan meningkatkan potensi karhutla,” papar Arie. Baca Juga: Pelanggaran HAM di Balik Bencana Kabut Asap

 

Ijon Politik

Koordinator Jatam Merah Johansyah berpendapat dalam 5 tahun ke depan keselamatan masyarakat masih terancam oleh ekspansi tambang. Jatam mencatat obral izin pertambangan marak terjadi menjelang dan setelah perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum (pemilu). Jatam menyebut praktik itu sebagai ijon politik.

 

Menurut Merah, ijon politik yaitu praktik dimana pengusaha atau donatur memberikan dukungan finansial kepada kandidat, timbal baliknya kandidat terpilih memberikan keamanan investasi serta kebijakan yang memudahkan dan izin eksploitasi pertambangan dan industri ekstraktif lainnya. Merah mencontohkan 120 izin pertambangan di Jawa Tengah terbit sepanjang Januari 2017-Februari 2018. Puncaknya, 13 Izin Usaha Pertambangan (IUP) terbit Juli 2017 atau 6 bulan sebelum Pilkada Jawa Tengah berlangsung.

Tags:

Berita Terkait