Perlindungan Pemegang Polis dalam Kepailitan Perusahaan Asuransi
Kolom

Perlindungan Pemegang Polis dalam Kepailitan Perusahaan Asuransi

Peraturan pelaksana dari UU PPSK terkait program penjaminan polis perlu menjadi prioritas pemerintah dan OJK dalam lima tahun ke depan.

Bacaan 6 Menit

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan (UU Kepalitan), perusahaan dinyatakan dalam keadaan insolvensi apabila setelah dinyatakan pailit tidak ada perdamaian antara debitur dan kreditur. Tidak ada perdamaian tersebut bisa dikarenakan debitur tidak menawarkan perdamaian, perdamaian ditolak atau tidak terjadi pengesahan perdamaian atau yang disebut homologasi.

Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit tidak otomatis dinyatakan dalam keadaan insolvent, melainkan masih pada keadaan diduga dalam keadaan insolvent sesuai dengan prinsip presumption of insolvency. Dengan kata lain, UU Kepailitan mengatur keadaan insolvensi sebatas pada pengertian insolvensi secara hukum bukan pada pengerti insolvensi secara finansial.

Sementara dalam ketentuan khusus perasuransian, sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian), keadaan insolvensi perusahaan asuransi dimaknai insolvensi secara finansial. Kondisi finansial perusahaan asuransi terkait erat dengan kesehatan perusahaan dan kemampuan untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang polis. Pengaturan lebih detail terkait dengan Kesehatan keuangan perusahaan asuransi dalam UU Perasuransian kemudian dituangkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (POJK 71/2016).

Dalam POJK 71/2016, OJK selaku regulator telah mengatur ukuran yang digunakan untuk menilai tingkat kesehatan suatu perusahaan asuransi, yaitu solvabilitas, cadangan teknis, kecukupan investasi, ekuitas atau modal, dana jaminan dan hal yang yang berhubungan dengan kesehatan keuangan. Jika suatu perusahaan asuransi mengalami permasalahan yang berdampak pada tingkat kesehatan, maka pengawasan diarahkan untuk memperbaiki indikator atau ukuran yang telah ditentukan tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap suatu perusahaan asuransi terdapat ukuran yang jelas dalam dalam menilai kondisi keuangan perusahaan asuransi, sehingga dapat dilakukan insolvency test. Hal ini membedakan perusahaan asuransi dari perusahaan kecap atau perusahaan non lembaga jasa keuangan lain.

Permasalahan keuangan perusahaan asuransi tidak harus berujung pada penghentian kegiatan usaha atau pencabutan izin usaha. Perusahaan asuransi yang dalam kondisi tidak sehat pun masih dapat melakukan kegiatan operasional. Namun OJK dapat membatasi cakupan kegiatan operasional untuk menjaga agar tingkat kesehatan perusahaan tidak semakin buruk, bahkan diharapkan mengalami perbaikan.

Dalam kerangka pembagian tanggung jawab organ perusahaan, upaya penyehatan kondisi keuangan perusahaan asuransi merupakan tanggug jawab pengurus dan pemegang saham. Dari sisi manajerial, perbaikan kondisi keuangan merupakan tanggung jawab dari Direksi di bawah pengawasan komisaris. Sedangkan dari sisi permodalan, tanggung jawab menjaga kondisi permodalan perusahaan asuransi tetap terletak pada pemilik atau pemegang saham. Upaya penyehatan tersebut, dituangkan dalam Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) yang ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait