Penanganan kasus yang menimpa Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat masih berproses. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia sekaligus pengajar STH Indonesia Jentera, Usman Hamid, menilai dari perspektif hukum dan HAM internasional kematian Brigadir J dapat digolongkan dalam penyiksaan, penghukuman, dan perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Usman mencatat peristiwa itu bukan kali pertama terjadi kekerasan antara anggota kepolisian. Kasus tersebut menegaskan masih melekatnya kultur keranas dalam tubuh kepolisian. Dia menyebut penanganan kasus ini dapat berjalan optimal jika melalui 5 lapis pengawasan. Pertama, pengawasan propam dan irwasum dinilai sulit dilakukan karena ada konflik kepentingan dan kendala struktural.
Kedua, pengawasan oleh eksekutif melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopohukam) juga bersikap terbuka. Ketiga, pengawasan DPR belum optimal, karena sampai saat ini Komisi III DPR belum menggelar rapat dengar pendapat dengan memanggil Kapolri untuk diminta pertanggungjawaban atas kasus yang menimpa Brigadir J.
Baca Juga:
- Mengurai Tabir Baku Tembak Anggota Polri
- Menanti Gebrakan Polri Mengungkap Kasus Baku Tembak Anggotanya
- Penonaktifan Ferdy Sambo Dinilai Langkah Progresif
- Penembakan Antar Anggota Polri, Menkopolhukam: Banyak Kejanggalan
Keempat, pengawasan lembaga eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM, dan Ombudsman RI. Berbagai lembaga pengawas eksternal itu harus menjaga jarak agar pengawasan yang dilakukan bisa efektif. Kelima, pengawasan publik seperti organisasi masyarakat sipil. “Penyelesaian kasus ini bisa berjalan optimal jika melalui 5 lapis pengawasan itu,” kata Usman, dalam konferensi pers bertema Reformasi Polri dan Kasus Brigadir J, Kamis (28/7/2022) kemarin.
Usman menekankan jika status Irjen Ferdy Sambo masih menjabat sebagai Kasatgassus Polri sebagaimana Surat Perintah Kapolri Nomor Sprint/1583/2022, maka berpotensi dapat mempengaruhi proses pemeriksaan ulang kasus Brigadir J. Oleh krena itu, Irjen Ferdy Sambo harus non aktif dari jabatan tersebut. Selain itu Kapolda Metro Jaya juga perlu di non aktifkan karena dia yang bertanggungjawab untuk penyidikan di awal kasus yang ramai menjadi polemik publik karena penuh kejanggalan ini.
Peneliti ICW, Lalola Ester mencatat temuan ICW tahun 2020 menunjukkan kepolisian mengalokasikan anggaran yang besar untuk aktivitas digital. Selain itu, anggaran Polri untuk penanganan kasus korupsi lebih besar ketimbang kejaksaan. “Jika kewenangan yang berlebihan ini tidak dibarengi dengan check and balances, maka dapat menciptakan lembaga yang super power,” ujarnya.