Perlu Constitutional Complaint Lewat Pengujian UU
Berita

Perlu Constitutional Complaint Lewat Pengujian UU

Ada tren kenaikan jumlah keluhan konstitusional. Memperluas kewenangan MK dengan constitutional complaint perlu dilakukan dengan memperbaiki manajemen perkara.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Refly Harun. Foto: RES
Refly Harun. Foto: RES
Sejak berdiri hingga saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah beberapa kali menerima jenis perkara-perkara yang masuk kategori constitutional complaint atau kerugian seseorang atau kelompok orang atas perlakuan atau tindakan pemerintah. Sejalan dengan itu, MK  seringkali menyatakan menolak atau tidak menerima permohonan jenis permohonan ini karena konstitusi dan UU MK sendiri tak mengatur kewenangan itu.

Menanggapi persoalan ini, pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan constitutional complaint perlu diterapkan secara terbatas di masa mendatang. Meski konstitusi tidak memberi kewenangan, ke depan pengaduan constitutional complaint patut dipertimbangkan menjadi salah satu kewenangan MK karena MK juga berfungsi sebagaithe protector of human rights (pelindung HAM).   

Refly yakin tak mudah memasukkan constitutional complaint melalui pendekatan ke arah perubahan UUD 1945. “Tetapi, sebagai lembaga pelindung HAM, MK seharusnya juga diberi kewenangan menyelesaikan constitutional complaint sebagai bentuk perlindungan hak,” ujar Refly di gedung MK, Senin (15/6).     

Karena itu, menurut Refly untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, MK perlu membuat terobosan baru dengan constitutional complaint through judicial review. Sebab, faktanya cukup banyak pengaduan constitutional complaint yang masuk ke MK. Akan tetapi, putusannya selalu tidak diterima karena MK tidak berwenang.

“Saya mendorong MK membuat terobosan baru untuk memutuskan persoalan constitutional complaint yang masuk melalui uji materi. Kan hukum acara MK selama ini diadopsi dari praktik. Toh, ini juga tidak melanggar konstitusi,” kata Refly.    

Refly mencontohkan dalam UU Kehutanan memuat larangan eksploitasi hutan lindung. Sementara dalam hutan lindung terdapat suku Anak Dalam yang sehari-hari memanfaatkan hasil kekayaan hutan lindung untuk hidup. Ketentuan larangan itu apabila diterapkan pada suku Anak  Dalam justru akan bertentangan dengan konstitusi, khususnya hak untuk hidup dan hak penghidupan yang layak.  

“Bisa saja suku Anak Dalam datang ke MK minta pasal itu tidak diberlakukan khusus kepada suku itu. Sebab, kalau diterapkan asas erga omnes, semua orang boleh mengeksploitasi hasil hutan. Nah, perkara seperti inilah yang bisa diajukan sebagai constitutional complaint, tetapi masuknya lewat judicial review ke MK,” terang Refly.

Dia tak menampik kewenangan ini bakal mengakibatkan banyak perkara masuk ke MK. Ini bisa disiasati dengan cara memperketat persyaratan pengajuan constitutional complaint dalam proses pendaftaran. “Mereka yang mengajukan itu sudah menempuh segala upaya hukum. Jadi, constitutional complaint sebagai upaya terakhir setelah upaya hukum lain, tidak langsung ke MK,” katanya.

Terpisah, mantan Ketua MK Hamdan Zoelva memandang berkaca dari negara-negara yang sudah memiliki kewenangan constitutional complain seringkali kebanjiran perkara. “Memang saat amandemen UUD 1945, saya pernah menolak perluasan kewenangan MK ini karena mempelajari MK Afrika, 90 persen lebih dari 30 ribuan perkara dalam setahun adalah perkara constitutional complaint. Begitu juga Jerman 6 ribuan perkara, Austria 6 ribuan, Rusia 30 ribuan lebih dalam setahun 90 persennya jenis perkara constitutional complaint. Ini akan menyulitkan hakim MK,” kata dia.

Namun kini, Hamdan mulai berpikir tentang perlunya memasukkan constitutional complaint sebagai kewenangan MK. “Itu (constitutional complaint) penting dalam rangka menjaga Indonesia yang menganut sistem  konstitusionalisme,” kata Hamdan.

Kekhawatiran kebanjiran perkara, menurutnya, bisa diatasi dengan memperbaiki manajemen perkara constitutional complaint.  Dia mengusulkan manajemen ini bisa saja  menggunakan tim ahli untuk memverifikasi perkara-perkara yang masuk kategori constitutional complaint. Dengan perbaikan manajemen perkara, kata Hamdan, tidak semua perkara constitutional complaint bisa disidangkan para hakim MK.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK, Janedjri M. Gaffar mengungkapkan selama ini banyak perkara kategori constitutional complaint yang masuknya melalui pengujian UU setelah ditempuhnya berbagai upaya hukum lain. Meski begitu, MK tetap menerima dan mengadili perkara-perkara jenis constitutional complaint ini karena menyangkut hak asasi warga negara. “Trennya meningkat. Kami  tidak bisa menolak, makanya kami tetap periksa perkaranya,” kata Janedjri.

Makanya, kata Janedjri, isu “constitutional complaint” akan menjadi tema besar dalam pertemuan Asosiasi MK se-Asia dan lembaga sejenis di Jakarta pada 14-16 Agustus 2015 mendatang. “Karena itu, pertemuan ini nanti, kita tentu harus belajar banyak dari negara lain yang sudah mempunyai pengalaman praktik cukup lama dalam melaksanakan kewenangan itu. Ke depan, diharapkan kita bisa melindungi hak konstitusional masyarakat,” harapnya.

Ia egaskan MK tidak berwenang untuk menuntut perluasan kewenangan itu. Boleh atau tidaknya memperluas kewenangan MK dengan menambah constitutional complain merupakan kewenangan MPR untuk mengamandemen UUD 1945. “Norma apa yang perlu diubah itu bukan kewenangan MK. Tugas kami mengawal konstitusi, bukan mengusulkan perubahan konstitusi,” katanya.
Tags:

Berita Terkait