Perlu Inovasi Pengaturan Eksekusi Putusan dalam RUU Hukum Acara Perdata
Utama

Perlu Inovasi Pengaturan Eksekusi Putusan dalam RUU Hukum Acara Perdata

Seperti perbaikan tata kelola eksekusi, hingga reformasi sistem dan peningkatan sumber daya.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Pengaturan pelaksanaan eksekusi putusan dalam draf RUU Hukum Acara Perdata versi 17 April 2021 diatur dalam Bab XI, khususnya dalam Pasal 208-229. Nisa mengakui pengaturan eksekusi dalam RUU Hukum Acara Perdata cenderung lebih terstruktur ketimbang Herzien Inlandsch Reglement (HIR), dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (RGB).

Tapi, sebagian besar pengaturan di HIR mengenai pelaksanaan eksekusi putusan diatur ulang dalam RUU Hukum Acara Perdata. Nah karenanya, pengaturan pelaksanaan eksekusi putusan dalam RUU belum merespon akar permasalahan eksekusi, khususnya terkait dengan tata kelola eksekusi dan prosedur eksekusi.

Untuk itu, pentingnya membuat terobosan berupa inovasi regulasi sebagaimana yang diharapkan dalam muatan materi RUU Hukum Acara Perdata. Pertama, inovasi soal adanya perbaikan tata kelola eksekusi. Seperti adanya hakim/pejabat pengadilan yang ditugaskan khusus untuk mengelola eksekusi. Misalnya bertugas mulai memeriksa dapat tidaknya suatu putusan dieksekusi, sehingga eksekusi tersebut dapat dilakukan sah secara hukum.

Kemudian memeriksa permohonan eksekusi dan mengeluarkan surat penetapan eksekusi. Serta memanggil pihak yang akan dieksekusi untuk memberikan informasi terkait asetnya. Tak hanya itu, pejabat tersebut diharapkan dapat mengakses data untuk melakukan penelusuran aset. Kedua, pengaturan terkait penelusuran aset, pelaksanaan sita eksekusi, pemeriksaan dan penilaian aset barang sitaan. Kemudian pemeliharaan barang sitaan, dan penjualan barang sitaan eksekusi dalam hal eksekusi pembayaran sejumlah uang.

Ketiga, adaptasi atas sistem elektronik. Keempat, untuk eksekusi riil, pengaturan biaya eksekusi, mekanisme eksekusi saat objek eksekusi tidak jelas atau sudah berubah, mekanisme eksekusi terkait hak pihak ketiga, mekanisme eksekusi jika terkait dengan hukum/obyek adat, mekanisme atas barang barang yang ada pada objek eksekusi, mekanisme biaya keamanan eksekusi, mekanisme eksekusi terhadap orang.

Kelima, inovasi peruntukan eksekusi melakukan perbuatan, mekanisme uang pengganti perbuatan, waktu penghitungan dwangsom. Keenam, untuk eksekusi putusan quasi yudisial dan dokumen yang disamakan dengan putusan pengadilan, pengaturan atas ketiadaan irah-irah, hingga ketidakjelasan eksekusi jaminan fidusia.

Dia juga mengusulkan perbaikan sistem dan infrastruktur. Seperti perbaikan tata kelola. Mulai dari adanya tugas khusus dalam struktur di Mahkamah Agung maupun di pengadilan sebagai pelaksana eksekusi. Kemudian penyempurnaan aturan melalui Perma atau UU lain yang diperlukan. Selanjutnya, adanya database atas pelaksanaan eksekusi yang dapat diakses juga oleh publik.

“Serta peningkatan kompetensi juru sita melalui perbaikan persyaratan dan pelaksanaan rekrutmen serta pelatihan disesuaikan dengan analisa jabatan dan beban kerja,” katanya.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Johanna Poerba sependapat dengan Nisa. Menurutnya memang diperlukan perbaikan dan inovasi dalam eksekusi putusan. Memang RUU Hukum Acara Perdata telah mengatur mekanisme eksekusi dalam Bab XI dengan beberapa penambahan dan penegasan.

Tapi, hambatan dalam implementasi eksekusi putusan perdata masih terbilang banyak. Karenanya perlu perbaikan regulasi di dalam ataupun di luar RUU Hukum Acara Perdata. “Termasuk perbaikan sistem dan peningkatan sumber daya,” pungkas Johanna.

Tags:

Berita Terkait