Perlu Kehati-hatian untuk Menetapkan Seseorang Menjadi Tersangka
Terbaru

Perlu Kehati-hatian untuk Menetapkan Seseorang Menjadi Tersangka

Gelar perkara tidak menemukan unsur melawan hukum.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi begal. Ilustrator: BAS
Ilustrasi begal. Ilustrator: BAS

Polda Nusa Tenggara Barat telah menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara atas nama Amaq Sinta alias Murtede. Sebelumnya, polisi menetapkan Murtede sebagai tersangka gara-gara menyebabkan dua orang meninggal dunia. Penetapan status tersangka itu dikecam banyak pihak karena Murtede diduga menjadi korban begal. Murtede melawan pelaku begal dengan senjata tajam yang dia bawa, menyebabkan dua dari empat pelaku begal meninggal dunia. Polisi menerbitkan SP3 setelah kasusnya viral di media sosial.

Kasus Murtede ini memberikan pelajaran penting bagi kepolisian untuk secara hati-hati menetapkan seseseorang sebagai tersangka. Polisi harus menjalankan proses penyelidikan dan penyidikan sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, terutama menjalankan apa yang diamanatkan dalam Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Jika seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka, implikasi hukumnya besar, termasuk reputasi dan proses hukum yang harus dijalani orang bersangkutan.

Demikian antara lain benang merah yang dapat ditarik dari diskusi daring ‘Ketika Korban Menjadi Tersangka’ yang digelar Visi Integritas dan PILNET-Indonesia, Minggu (17/4/2002). Jika kepolisian menjalankan prosedur penyelidikan dan penyidikan dengan benar, maka seharusnya Murtede sebagai korban perbuatan begal tidak ditetapkan sebagai tersangka. “Seharusnya sejak awal tidak naik ke penyidikan,” kata M. Fatahillah Akbar.

Dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta itu berpendapat apa yang dilakukan Murtede dapat dikualifikasi sebagai pembelaan terpaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. Pasal ini menyebutkan: Tidak dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu.

Baca juga:

Anggota PILNET-Indonesia, Wahyu Wagiman, berpendapat kasus Amaq Sinta alias Murtede ini memberi pelajaran penting bagi aparat kepolisian tentang pentingnya kehati-hatian sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. Salah satu mekanisme yang harus ditempuh dalam rangka mewujudkan sikap hati-hati itu adalah gelar perkara. Jika perlu, gelar perkara mendengarkan keterangan ahli dan melibatkan direktorat pengawasan penyidikan di kep;olisian. Menurut Wahyu, tujuannya adalah untuk memastikan kelayakan peningkatan status penyelidikan menjadi penyidikan dan penetapan seseorang menjadi tersangka.

Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019, gelar perkara wajib dilaksanakan setelah tim penyelidik melaporkan hasil penyelidikan. Gelar perkara dilakukan untuk menentukan apakah dalam peristiwa yang tengah diselidiki ada tindak pidana atau tidak ada. Hasil gelar perkara memutuskan tiga opsi. Pertama, apabila ditemukan tindak pidana, maka dilanjutkan pemeriksaan ke tahap penyidikan. Kedua, apabila tidak ada tindak pidana, maka dilakukan penghentian penyelidikan. Ketiga, apabila perkara itu bukan kewenangan penyidik Polri, maka laporan dilimpahkan ke instansi yang berwenang.

Sebelumnya, Kapolda Nusa Tenggara Barat, Irjen Pol. Djoko Purwanto mengumumkan penghentian penyidikan perkara Amaq Sinta setelah dilakukan gelar perkara khusus. “Gelar perkara khusus dihadiri penyidik itu sendiri, pengawas internal Polda yang terdiri dari Propam, Inspektorat Pengawasan Daerah, dan dari intel,” jelas Kapolda. Turut dilibatkan dalam gelar perkara itu ahli pidana.

Dari gelar perkara Sabtu (16/4/2002) itu ditemukan fakta bahwa unsur melawan hukum dari pasal yang dituduhkan (Pasal 351 ayat (3) atau Pasal 338 KUH) tidak terpenuhi. Gelar perkara justru menemukan adanya unsur pembelaan terpaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan perlu membangun kesadaran masyarakat untuk segera melapor ke polisi jika menjadi korban kejahatan. Dalam kasus Murtede, awalnya polisi hanya menerima satu laporan polisi, yakni ditemukannya dua mayat. Adapun Murtede tidak membuat laporan polisi sebagai korban. Itu sebabnya, polisi lebih dahulu menangani kasus penemuan mayat, yang belakangan diduga sebagai pelaku begal terhadap Murtede. Selain itu, Poengky mengingatkan pentingnya upaya preemptif dan preventif mencegah kejahatan, terutama kejahatan jalanan. Berdasarkan laporan yang diterima Kompolnas, kejahatan jalanan masuk top ranking kasus yang harus ditangani oleh kepolisian.

Tags:

Berita Terkait