Perlu Memperjelas Aturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Utama

Perlu Memperjelas Aturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Fenomena pernikahan beda agama bakal terus muncul. Selain adanya dualisme aturan terkait keabsahan pernikahan, juga terdapat celah hukum yang sering dimanfaatkan pemohon nikah beda agama.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Pasal 21 ayat (3) UU Perkawinan menyebutkan Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas”

Kemudian, Hakim memerintahkan kepada pejabat Kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya agar melakukan pencatatan perkawinan beda agama para pemohon ke dalam register pencatatan perkawinan serta menerbitkan akta perkawinan tersebut. Menurut Gede Agung, Hakim Imam Supriyadi tidak melihat adanya larangan perkawinan beda agama menurut UU 1/1974.

“Selain itu, pembentukan rumah tangga dengan mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing merupakan hak asasi para pemohon,” katanya.

Untuk diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menyidangkan pengujian Pasal 2 ayat (1), (2) dan Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 terkait syarat sahnya perkawinan dan larangan menikah oleh agamanya. Permohonan ini diajukan E. Ramos Petege, yang memeluk agama Khatolik pernah hendak menikah dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam. Tetapi, setelah menjalin hubungan selama 4 tahun dan hendak menikah, perkawinan tersebut harus dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.

Persidangan permohonan ini sudah memasuki sidang pleno dan telah mendengarkan keterangan pihak DPR, pemerintah, hingga pihak terkait Majelis Ulama Indonesia (MUI). Padahal, MK sendiri sudah mengambil sikap tegas terkait polemik kawin beda agama ini melalui Putusan MK No.68/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada 18 Juni 2015 silam.

MK pernah menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur syarat sahnya perkawinan terkait kawin beda agama yang dimohonkan seorang mahasiswa dan beberapa alumnus FH UI. Kala itu, para pemohon mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan, terutama berkaitan dengan keabsahan kawin beda agama. Norma pasal itu dinilai pemohon berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan.

Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum. Alhasil, pasangan kawin beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karenanya, para pemohon meminta MK membuat tafsir yang mengarah pada pengakuan negara terhadap kawin beda agama. Namun, MK menganggap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. 

Mahkamah menganggap UU Perkawinan ini telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD Tahun 1945 serta dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Terlebih, Pasal 28J UUD 1945 menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang yang salah satunya dengan pertimbangan nilai-nilai agama.

“Karena itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi salah satu pertimbangan Mahkamah.  

Tags:

Berita Terkait