Perlu Pengaturan Komprehensif untuk Atasi Masalah Penanganan Pengungsi
Utama

Perlu Pengaturan Komprehensif untuk Atasi Masalah Penanganan Pengungsi

Selama ini penanganan pengungsi di Indonesia mengalami masalah yang kompleks. Untuk itu, Payung hukum yang ada harus dapat menentukan posisi/peran pemerintah, UNHCR, IOM, masyarakat sipil, dan pihak lain guna menciptakan kepastian hukum.

Oleh:
CR-28
Bacaan 4 Menit

Selama ini pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya dalam tingkat multilateral dan regional. Salah satunya dapat dilihat pada Bali Process Forum. Indonesia bersama Australia menjadi Co-Chair pada Bali Process pada tahun 2002, yang merupakan forum konsultasi 48 negara Asia Pasifik (asal, transit, dan tujuan) beserta 3 lembaga internasional.

Disamping itu pada tingkat regional yakni ASEAN, Indonesia banyak memberikan inisiatifnya pada dokumen-dokumen ASEAN untuk menegakkan dan menghormati HAM, termasuk pada hak-hak dasar anak yang termasuk pula dalam konteks migrasi. Melihat kerangka regional dan multilateral itu, standing position pemerintah Indonesia itu sangat jelas.

“Tetapi ketika masuk ke dalam, ini yang menjadi masalah besar karena prakteknya. Saya sangat menghargai upaya dari semua pihak, termasuk UNHCR, yang luar biasa sekali hingga memikirkan konsep-konsep alternative pathways-nya. Itu luar biasa. Tetapi ketika masuk pada kerangka di Indonesia, itu tidak mudah.”

Mantan Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) itu menjelaskan tantangan dalam penanganan pengungsi yang muncul disebabkan beberapa hal. Diantaranya pengaturan kewenangan antara pemerintah pusat, daerah, serta lembaga internasional dinilai masih belum cukup jelas dan masih didominasi pusat. Kemudian, pengaturan peran dan mekanisme kerja, organisasi masyarakat sipil, masyarakat dan lembaga internasional serta donatur masih tergantung masing-masing dan belum ada pengaturannya secara rigid.

Hukumonline.com

Selain itu, pengelolaan/penanganan pengungsi dalam beberapa hal tumpang tindih menjadikan kurang tepat sasaran. "Atau ketika pada proses penempatan, pemerintah memiliki aturan main di dalam proses penempatan. Lembaga Internasional juga memiliki aturan. Masyarakat sipil juga punya aturan. Apa yang terjadi? Suka terjadi crash,” beber anggota Dewan Sekretariat Asian Dialogue on Forced Migration (ADFM) itu.

Dengan begitu, menurutnya upaya pemenuhan perlindungan dan hak dasar pengungsi dirasakan menjadi terhambat dengan peraturan sektoral yang cenderung bertentangan. Terlebih dalam Perpres 125/2016 tidak ditemukan pengaturan yang sifatnya sektoral. Karena belum terlalu jelas, pendekatan pengamanan wilayah teritori lebih menonjol ketika para pengungsi masuk ke wilayah teritori Indonesia.

"Tiga hari yang lalu saya mengikuti kegiatan teman-teman di Suaka, disitu terlihat sekali bagaimana hukum adat punya kelebihan yang luar biasa yang tidak diperhitungkan. Maka masyarakat adat harusnya menjadi bagian yang diperhatikan,” harapnya. “Mengingat, beberapa tempat relasi sosial pengungsi dengan masyarakat lokal di beberapa wilayah cenderung buruk. Tetapi ketika difasilitasi organisasi masyarakat sipil atau organisasi internasional, relasi itu terbangun secara baik.”

Hal itu menunjukkan beragam persoalan penanganan pengungsi, tidak bisa tanggung jawabnya diserahkan hanya kepada UNHCR. Indonesia yang kerap dijadikan negara transit pengungsi hingga sampai belasan tahun, seharusnya bisa memberi pengaturan penanganan pengungsi secara komprehensif. Menurutnya, payung hukum yang ada harus dapat menentukan posisi/peran pemerintah, UNHCR, IOM, masyarakat sipil, dan pihak lain guna menciptakan kepastian hukum.

Tags:

Berita Terkait