Perlu Penguatan Penerapan Restorative Justice dalam Sebuah UU
Terbaru

Perlu Penguatan Penerapan Restorative Justice dalam Sebuah UU

Kendati tidak diatur tegas pengaturan keadilan restoratif dalam UU, penuntut umum masih memiliki kendali dalam penghentian penuntutan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

“Dengan kata lain penuntut umum tidak hanya berwenang menuntut, tapi juga berwenang tidak melanjutkan perkara ke persidangan,” katanya.

Kriteria

Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalimatan Timur itu melanjtkan, ada beberapa kriteria penerapan keadilan restoratif terhadap sebuah perkara. Pertama, tindak pidana kali pertama dilakukan pelaku. Kemudian nilai kerugiannya pun tidak terlampau besar. Selanjutnya, tersangka merupakan tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Karenanya keluarga pun ikut menderita akibat perbuatan tersangka yang berujung pemenjaraan.

Di lain sisi, pelaku kejahatan tidak mendapat dukungan kendatipun kasusnya telah berakhir. Makanya diperlukan paradigma baru dengan pendekatan keadilan restoratif. Salah satu diskresi jaksa dengan penyelesaikan penghentian penuntutan melalui restorative justice terhadap tindak pidana ringan.

Makanya diperlukan paradigma baru dengan pendekatan keadilan restoratif. Salah satu diskresi dengan penyelesaian penghentian penuntutan dengan keadilan restoratif dengan sifatnya ringan. Menurutnya, restorative justice tidak diatur secara tegas dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun penuntut umum masih memiliki kendali dalam penghentian penuntutan.

“Penuntut umum akan menentukan apakah satu perkara memenuhi syarat pendekatan restorative justice atau tidak. Penuntut umum bakal menawarkan pendamaian para pihak berperkara,” ujarnya.

Pasca berlakunya Peraturan Kejaksaan (Perja) No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, banyak kasus tindak pidana ringan yang dihentikan penuntutan. Setidaknya hingga Mei 2020, Kejaksaan telah menghentikan 1.070 perkara dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Baginya, keadilan restoratif memaafkan pelaku dan sistem peradilan pidana mesti mampu mengakomodirnya. Karenanya keadilan restoratif secara filosofi mengedepankan pemulihan dan dialog dengan memafkan dan melakukan perbaikan. Sekalipun terdapat kekurangan dalam mekanisme aturan di Indonesia, penyelesaian dengan keadilan restoratif membawa perdamaian.

Kedua, kondisi lembaga pemasyarakatan padat. Menurutnya masyarakat menuntut praktik pemenjaraan dari pemulihan. Padahal sebaliknya, penerapan keadilan restoratif malah mengurangi jumlah narapidana di Lapas Indonesia. Ketiga, dalam meningkatkan penerapan restorative justice kearifan lokal diboyong masuk dalam penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.

“Harapannya restorative justice dapat membantu pemeritah mengurangi narapidana dan residivis,” katanya.

Tags:

Berita Terkait