Perlu Perubahan Orientasi Sanksi untuk Kejahatan Sektor Keuangan
Utama

Perlu Perubahan Orientasi Sanksi untuk Kejahatan Sektor Keuangan

Pemerintah perlu belajar dari negara-negara yang menjadi pusat keuangan dunia dalam menekan kejahatan di sektor keuangan, baik konvensional maupun digital. Orientasi hukuman tidak berfokus pada pidana, namun pengembalian hingga 2-5 kali lipat dari total kerugian yang diderita oleh korban.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh Kominfo dan FHUI dengan tajuk Tantangan Era Digital: Santernya Kasus Fraud Di Industri Jasa Keuangan Indonesia, Kamis (13/10). Foto: FNH
Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh Kominfo dan FHUI dengan tajuk Tantangan Era Digital: Santernya Kasus Fraud Di Industri Jasa Keuangan Indonesia, Kamis (13/10). Foto: FNH

Semua bidang dan aspek kehidupan manusia hari ini tidak lepas dari digitalisasi. Namun perlu diingat bahwa kehadiran digitalisasi ibarat dua mata pisau. Meski teknologi IT ini memberikan banyak kemudahan, namun manusia selaku pengguna dituntut bijak untuk menggunakannya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Arman Nefi, keberadaan digitalisasi membawa dampak positif dan negatif. Beberapa hal positif, misalnya mempermudah komunikasi, mempermudah mencari informasi, mempermudah transaksi bisnis, menghemat waktu, mengenal budaya baru, dan sekaligus menjadi perpustakaan “Terbesar di Dunia”. Namun ada sisi negatif dari digitalisasi yang harus diwaspadai yakni cybercrime di antaranya adalah penipuan online dan berita hoax

“Ada hal-hal positif dan negatif. Kita saat ini sangat mudah berkomunikasi, mudah cari informasi, mudah transaksi bisnis. Tapi di balik transaksi mudah ada kejahatan mengincar. Dan berhati-hati ambil berita,” kata Arman dalam Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh Kominfo dan FHUI dengan tajuk “Tantangan Era Digital: Santernya Kasus Fraud Di Industri Jasa Keuangan Indonesia”, Kamis (13/10).

Baca Juga:

Mengingat digitalisasi sudah masuk ke aspek kehidupan maka kejahatan digital pun akan mengikuti. Dan muara dari kejahatan digital tersebut adalah kerugian materiil, terutama jika kejahatan dilakukan di sektor jasa keuangan atau investasi.

Sementara di sisi lain peningkatan kasus kejahatan online, terutama penipuan online, membuktikan bahwa cyber security di Indonesia masih lemah. Meski Indonesia sudah memiliki UU ITE dan beberapa ancaman pidana untuk kasus penipuan yang diatur dalam KUHP, namun menurut Arman hal tersebut belum begitu efektif untuk menurunkan angka kejahatan digital.

Arman menilai pemerintah perlu belajar dari negara-negara yang menjadi pusat keuangan dunia seperti AS, Singapura, Jepang, Inggris, RRC/Hongkong dalam menekan kejahatan di sektor keuangan, baik konvensional maupun digital.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait