Perlu Sinergitas Pelaksanaan dan Pelaporan Bantuan Hukum Pro Bono
Utama

Perlu Sinergitas Pelaksanaan dan Pelaporan Bantuan Hukum Pro Bono

KAI berkomitmen memperluas pemberian bantuan hukum pro bono. Sistem pelaporan secara elektronik penting dijalankan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Presiden KAI, Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, menegaskan kembali kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Namun dalam praktik kriteria ‘cuma-cuma’ menjadi multitafsir. Dia mencontohkan pernah mendapat klien yang tidak mampu dan tak memiliki uang. Tapi, kasus yang dialami memiliki potensi bernilai ekonomi tinggi seperti sengketa tanah yang luas. “Kriteria-kriteria ini juga harus pasti, apakah tidak mampu secara financial dan harus dibantu. Tetapi kasusnya bernilai financial yang sangat tinggi,” ujarnya.

Kewajiban pro bono bagi advokat memang telah diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003, tetapi dalam praktik masih ada advokat yang memaknai pro bono dengan pro deo. Tjoetjoe mengakui pengetahuan tentang pro bono belum dimaknai menyeluruh di kalangan advokat. Belakangan, muncul gerakan yang hendak menjembatani antara pro bono, pro deo dengan kalangan profesional yang mencari uang dalam kapasitasnya sebagian advokat. Caranya, menciptakan sebuah peluang bantuan hukum access to justice bagi masyarakat, tapi tidak gratis dan tak disubsidi.  Dia manganalogikan persis seperti layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan asuransi kesehatan. “Tapi ini asuransi hukum. Jadi klien bayar murah dan dilayani secara profesional oleh advokat,” imbuhnya.

KAI, kata Tjoetjoe, berupaya mendorong gerakan bantuan hukum bagi masyarakat secara luas. Bagi masyarakat yang tidak mampu dapat dibantu dengan program pro bono dengan BPHN maupun MA dengan prodeonya. Dia berharap bagi anggota KAI yang berhasil menunjukan hasil kerja pro bono, KAI bakal menggratiskan perpanjangan Kartu Tanda Anggota (KTA). “Tentu sedikitnya lima perkara. Itu untuk merangsang teman-teman melakukan kegiatan pro bono di daerahnya,” katanya.

Soal gratis dalam bantuan hukum, Tjoetjoe sependapat dengan Benny. Menurutnya bantuan hukum cuma-cuma sejatinya mesti gratis, hingga tak ada pungutan di pengadilan. Namun faktanya dalam berpekara tak ada yang gratis. Seperti kebutuhan materai pun mesti dibeli dari kocek sendiri. Dia membayangkan bila perkara yang ditangani banyak dengan setiap tahapan persidangan. “Jadi berapa modal yang harus diberikan dalam pemberian bantuan pro bono. Jadi kita harus punya modal dulu, baru kita berikan bantuan pro bono,” katanya.

Integrasi aplikasi

Managing Partner Legal Trust, Nasuka Abdul Jamal mengatakan KAI telah membentuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) KAI di Solo, Jawa tengah. Setidaknya telah memberikan banyak pendampingan hukum bagi masyarakat miskin tidak mampu. Serta memberikan pelatihan ke pararegal yang nantinya dapat membantu advokat dalam menjalankan proses pro bono di Solo.

Sebenarnya, kata Jamal, advokat KAI banyak yang telah melakukan pro bono. Hanya saja belum melaporkannya. Sebab ketiadaan sistem terkait pelaporan pro bono yang telah dilakukan.  Karenanya perlu membangun aplikasi dan mengintegrasikan database advokat. “Sehingga kita bisa mencatat pro bono yang telah dilakukan secara akuntabel dan dipercaya,” katanya.

Tjoetjoe menambahkan perlu merumuskan satu aplikasi bersama dengan satu database. Apalagi KAI saat ini menjadi organisasi advokat di lini terdepan di bidang teknologi database advokat.Ya, KAI telah memiliki database secara digital di seluruh Indonesia dengan nama e-lawyer. Menurutnya aplikasi e-probono yang telah dibangun dan dikembangkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menjadi upaya memudahkan advokat melaporkan aktivitas pro bononya. “Kalau bisa diintegrasikan sistem dengan e-lawyer akan lebih bak. Sehingga tidak lagi memasukkan data,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait