Perlu Syarat Ketat Penerapan Restorative Justice untuk Korupsi Minor
Utama

Perlu Syarat Ketat Penerapan Restorative Justice untuk Korupsi Minor

Selain jumlah kerugian negara yang sangat kecil, juga memperhatikan mens rea atau motif melakukan tipikor.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Sejumlah narasumber dalam diskusi membahas penerapan restorative justice untuk perkara korupsi di bawah Rp50 juta, Selasa (8/3/2022). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam diskusi membahas penerapan restorative justice untuk perkara korupsi di bawah Rp50 juta, Selasa (8/3/2022). Foto: RFQ

Dalam setahun terakhir, Kejaksaan telah menerapkan restorative justice (keadilan restoratif) terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Namun belakangan bakal pula menyasar perkara tindak pidana korupsi untuk kategori ringan atau minor yakni nilai kerugian keuangan negara di bawah Rp50 juta. Meski menuai polemik, penerapan restorative justice terhadap perkara korupsi minor diusulkan harus dengan syarat ketat.

Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad mengatakan pada dasarnya mendukung implementasi restorative justice dalam kasus korupsi yang besaran kerugian keuangan negaranya di bawah Rp50 juta.

“Pendekatan restoratif memiliki potensi besar untuk diterapkan ke dalam sistem peradilan pidana sebagai alternatif pilihan dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia,” ujar Suparji Ahmad dalam sebuah diskusi yang digelar secara hybrid, Selasa (8/3/2022).

Dia tak menampik korupsi sebuah perilaku keji, tapi sebaiknya tak semua jenis korupsi berakhir di balik jeruji besi. Menurutnya, bila tindak pidana korupsi hanya merugikan negara dalam jumlah kecil (tiny corruption), tak perlu dituntut hingga ke pengadilan. Di negara China yang dikenal dengan praktik hukuman mati bagi koruptor, nyatanya terhadap tindak pidana korupsi dalam skala kecil tidak dilakukan penuntutan.

Baca:

Namun demikian, diperlukan syarat ketat dalam penerapan restorative justice terhadap perkara korupsi minor. Selain memperhatikan jumlah kerugian negara yang sangat kecil, penerapan restorative justice harus memperhatikan adanya mens rea(niat jahat) atau tidak. Kejaksaan perlu melihat sebab pelaku terjebak atau melakukan tindak pidana korupsi. Misalnya karena kebutuhan mendesak atau mencari keuntungan pribadi.

“Pendekatan restoratif bagus untuk dijalankan dengan syarat yang ketat, setidaknya dua unsur utama yaitu jumlah kerugian keuangan negara yang sangat kecil dan tidak unsur niat jahat untuk korupsi (mens rea). Misalnya, pelaku merupakan korban dari sistem dan tidak ada niat jahat untuk melakukan korupsi. Namun pelaku tetap diminta pertanggungjawabannya dalam bentuk pengembalian kerugian keuangan negara,” ujar Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) ini.  

Tags:

Berita Terkait